Kamis, 23 April 2015

Makna Simbolis Ajaran Hasthabrata



Makna Simbolisme Nilai-nilai Kepemimpinan Ajaran Hasthabrata.
Oleh : Indriyanto, S.Sn., S.Pd.

            Simbolisme terbentuk berdasarkan kesepakatan sekelompok manusia, sehingga dimungkinkan timbulnya perbedaan maupun persamaan dalam hal pengertian dan penggunaaan suatu simbol. Simbol-simbol tersebut perlu ditafsirkan sejalan pula dengan keadaan (nafas jaman) masa kini, hal ini bertujuan untuk dapat menemukan makna yang lebih komprehensif. Berkenaan dengan hal tersebut, untuk mengupas lebih dalam makna simbolisme kepemimpinan dalam ajaran Hasthabrata akan ditelaah dari simbolisasi watak/sifat yang diambil dari benda-benda alam sesuai dengan pergeseran pola pikir, budaya, dan keyakinan masyarakat Jawa dari hal-hal yang bersifat kadewatan (dewa-dewa) menjadi kadonyan (benda-benda alam). Di sisi lain dengan menggunakan simbolisasi ajaran kepemimpinan yang mengacu pada watak/sifat benda-benda alam diharapkan akan memiliki ruang lingkup penafsiran yang lebih luas dan lebih fleksibel jika dibandingkan menggunakan watak atau perilaku dewa-dewa yang dapat dikatakan sudah bersifat maton (sudah pasti) sehingga dikhawatirkan akan mempersempit atau bahkan membatasi upaya penafsiran lebih lanjut. Konsep kepemimpinan yang meneladani perwatakan delapan anasir alam semesta adalah sebagai berikut:
1. Pemimpin Berwatak Bumi (Hambeging Kisma).
            Seorang pemimpin hendaklah meneladani watak bumi. Bumi memiliki watak sosok yang dapat menampung seluruh makhluk hidup di dunia, bumi berwatak pasrah, rela (lila legawa), suci, jujur, teguh, kuat, dan sentosa. Dengan menggunakan simbolisasi watak bumi yang mampu menampung seluruh makhluk hidup diharapkan seorang pemimpin mampu menerima seluruh lapisan rakyatnya (bawahannya) tanpa memandang suku, agama, ras, maupun golongannya. Ia harus bisa menerima dengan tangan terbuka seluruh rakyatnya walaupun masing-masing memiliki karakter, keinginan, perilaku, dan kepribadian yang berbeda-beda. Seorang pemimpin harus mampu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyatnya untuk berkembang dan maju. Pemimpin harus memiliki watak suci, ikhlas, rela, dan pemurah sebagaimana watak bumi yang dengan rela dan ikhlas diinjak-injak oleh seluruh makhluk yang ada di muka bumi tanpa merasa berat menanggungnya. Bahkan ia ikhlas dicangkul, dibajak, digali, ditanami, maupun di eksploitasi. Bumi tidak berkeluh kesah, marah atau pun mendendam, malah sebaliknya ia akan memberikan kekayaan yang dimilikinya berupa hasil bumi untuk dimanfaatkan bagi kemakmuran seluruh makhluk hidup. Maknanya simbolisnya bahwa seorang pemimpin harus selalu berderma, tidak mendendam ataupun sakit hati walau mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari rakyatnya. Bahkan dalam perspektif tasawuf, seorang sufi diharapkan bisa seperti tanah, yang ikhlas, tidak nggrundel (keluh kesah) walau dia menjadi jalan dan diinjak-injak oleh orang, bahkan oleh hewan sekalipun (Wawan Susetya, 2007: 8). Dengan meneladani watak bumi, seorang pemimpin harus mempunyai sikap rila lamun ketaman, ora getun lamun kelangan yang makna harfiahnya ikhlas ketika sedang tertimpa musibah atau masalah dan tidak menyesal ketika kehilangan. Melalui keikhlasannya ia selalu sumarah marang kersaning sing gawe urip atau selalu berserah diri/pasrah kepada Tuhan  (Pardi Suratno, 2005: 175).
Dalam janturan jejer sering kali seorang raja atau pemimpin digambarkan selau berwatak sarahita, danahita, darmahita yang maksudnya seorang raja harus selalu memikirkan, menolong, dan melayani rakyatnya dengan ringan tangan. Dengan kemampuan yang dimilikinya (sumber daya yang ada) ia selalu berusaha menyediakan kebutuhan rakyatnya. Raja harus berlaku jujur, adil,  arif, dan bijaksana sehingga negara menjadi kuat, aman, makmur, merata, dan sejahtera.
Bumi yang mempunyai sifat “pemurah” di sini kurang lebih diartikan bahwa seorang pemimpin harus produktif, hasil kerjanya bermanfaat bagi lembaga sesuai dengan fungsi dan kontribusinya. Untuk ini pemimpin tentunya harus dapat memberdayakan (enforcing) segala sumber daya yang ada termasuk sumber daya manusia, antara lain memberikan bekal ketrampilan untuk melaksanakan tugas serta arahan agar menjadi produktif dalam bekerja. Dalam hal ini dapat pula diartikan bahwa seorang pemimpin hendaknya dapat bekerja bersama-sama dengan anak buahnya dengan saling mengisi (synergy) sehingga secara kelompok mampu membuahkan hasil kerja yang optimal.
Kejujuran menjadi salah satu modal dasar seorang pemimpin yang ingin mendapat pengakuan dari bawahannya. Bumi juga memiliki watak jujur, ia tidak berbohong dan selalu berusaha mengungkap kebenaran. Ketika ditanami biji jagung maka yang tumbuh adalah pohon jagung, bila di tanami biji mangga maka yang akan tumbuh pohon mangga juga. Harfiahnya seorang pemimpin harus mengatakan sesuatu hal sesuai kebenaran sehingga rakyat dapat memperoleh kepastian yang nyata. Pemimpin yang jujur tidak akan melakukan kecurangan, menipu, korupsi, kebohongan publik, atau hal-hal yang merugikan negara. Jujur dan dapat dipercaya menjadi satu kesatuan tunggal yang tak boleh diabaikan oleh seorang pemimpin. Kejujuran bukan hanya untuk orang lain saja, namun yang yang mendasar adalah jujur dan dapat dipercaya oleh dirinya sendiri, artinya ia tak pernah membohongi dirinya sendiri. Hal ini penting, karena tak ada gunanya jujur pada orang lain tetapi pada dirinya sendiri ia bohong (mengingkari hati nurani). Seorang pemimpin yang baik akan selalu konsisten terhadap apa yang diucapkannya walaupun kadang-kadang pahit rasanya.
Sifat lain bumi adalah kuat dan tidak mudah goyah walaupun banyak beban di atasnya. Demikian juga seorang pemimpin harus mempunyai pendirian yang kuat dan tidak mudah goyah, ia merupakan figur yang pantang menyerah, punya dedikasi tinggi, serta tidak mudah putus asa dalam menghadapi berbagai persoalan.

2. Pemimpin Berwatak Matahari (Hambeging Surya)
            Matahari (Jw: srengenge) lewat pancaran sinarnya mampu memberi kehidupan di muka bumi. Sinar matahari mampu menerangi dunia dan merupakan sumber energi. Dalam tugasnya menerangi dunia, matahari tidak pilih kasih, semua yang ada dalam jangkauannya pasti akan menerima kehangatan sinarnya. Entah itu makhluk hidup ataupun benda mati ikut merasakan kehangatan sinar matahari dan kadar panasnya pun sama dan merata. Makna simboliknya bahwa seorang pemimpin harus mampu memberi penerangan dan sebagai sumber pencerahan lewat pemikirannya, ia harus mampu membangkitkan motivasi para bawahannya dengan demikian rakyat merasa mendapatkan semangat hidup dan merasa bahagia. Seorang pemimpin juga harus bisa berlaku adil dan merata dalam memberikan pelayanan kepada rakyatnya karena pada hakikatnya seorang pemimpin bukanlah penguasa yang minta dilayani oleh rakyatnya namun sebaliknya ia adalah pelayan masyarakat yang setiap saat harus siap melayani kebutuhan masyarakat. Ia tidak boleh membeda-bedakan suku, agama, kelompok, ras, dan strata sosialnya. Semua harus dirangkul dan mendapatkan perlakuan yang sama tanpa ada yang merasa disisihkan (dianaktirikan).
            Sinar matahari juga sangat besar manfaatnya bagi kelangsungan hidup makhluk hidup di dunia ini. Bagi tumbuh-tumbuhan sinar matahari sangat membantu dalam proses metabolisme demi kelangsungan hidupnya. Bagi manusia, sinar matahari dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber energi (tenaga), proses penjemuran hasil panen, pengeringan cucian dan masih banyak lagi. Makna simbolisnya bahwa seorang pemimpin dengan segala potensi yang dimilikinya harus senantiasa bermanfaat bagi rakyatnya, ia akan selalu berusaha menjaga kelangsungan hidup dan meningkatkan taraf hidup rakyatnya kearah yang lebih baik. Matahari yang sifatnya selalu memberikan penerangan kepada alam semesta dan memberikan enerji sebagai sumber kehidupan makluk hidup di dunia ini merefleksikan bahwa pemimpin harus dapat memberikan arahan, bimbingan maupun penjelasan kepada anak buahnya terutama mengenai pekerjaan atau bidang tugasnya. Pemimpin harus dapat menularkan keahlian/ketrampilan kepada anak buahnya, sehingga mempunyai kemampuan dalam melaksanakan tugasnya. Ini semua akan merupakan bekal enerji yang sangat berarti untuk meningkatkan kompetensi SDM (human resource competency) dalam rangka mencapai satuan kerja yang berkinerja tinggi.
            Perjalanan matahari mulai terbit sampai terbenam menggambarkan suatu perjalanan yang istiqomah atau pepatah Jawa menyebutnya alon maton, alon-alon waton kelakon (Wawan Susetya, 2007: 11). Hal ini memberikan suatu gambaran bagi seorang pemimpin dalam mengatasi persoalan negara hendaknya selalu menempuh cara-cara yang halus, penuh kehati-hatian, tidak tergesa-gesa (Jw: grusa-grusu), penuh kesabaran dan ketenangan sehingga tidak akan memperkeruh suasana namun persoalan yang dihadapinya dapat terselesaikan dengan baik.

3. Pemimpin Berwatak Rembulan (Hambeging Candra)
            Rembulan memiliki cahaya yang dapat menerangi kegelapan malam, maknanya seorang pemimpin hendaklah mampu memberi pencerahan atau jalan keluar terhadap persoalan yang dihadapi rakyat dan bangsanya. Sebagaimana kita ketahui bahwa bulan mempunyai sifat memberikan penerangan di saat malam gelap sekaligus memberikan rasa keindahan di malam hari. Di sini, pemimpin dituntut untuk dapat memberikan jalan keluar atau ikut dalam memberikan sumbang saran kepada anak buahnya yang sedang menghadapi kesulitan baik secara kedinasan maupun secara pribadi. Di samping itu hendaknya pemimpin juga dapat menghibur anak buahnya yg sedang dalam kondisi sulit, sehingga mereka tidak hanyut dalam kesedihan. Seorang pemimpin harus mampu menimbulkan semangat serta rasa percaya diri saat menghadapi krisis maupun kesusahan dan kesulitan. Pemimpin wajib memberikan pelajaran, penerangan, dan  berusaha mengangkat rakyat dari gelapnya kebodohan dan keterbelakangan.
Cahaya rembulan juga tidak menyengat, maknanya dalam memberikan petunjuk atau arahan-arahan pada bawahannya harus dilakukan dengan cara yang lembut, santun tanpa melukai perasaan. Dengan cara demikian bawahan tidak merasa sedang dinasehati atau dimarahi oleh pimpinannya sehingga keharmonisan hubungan antara pimpinan dan bawahan/rakyatnya tetap terjaga dengan baik.
            Rembulan memiliki bentuk yang indah dengan cahayanya yang lembut bila malam tiba seakan-akan suasana terasa romantis dan menyenangkan. Makna simboliknya seorang pemimpin harus selalu berpenampilan menarik baik dalam hal berbusana maupun  bertutur kata, berperilaku yang baik dan terpuji. Seorang pemimpin harus memiliki sikap rendah hati (Jw: andhap asor), tutur katanya lembut, ramah, murah senyum, dan kesopananya terjaga. Seorang pemimpin yang baik akan menggunakan jabatannya untuk membangun masyarakat dengan mengembangkan sikap yang santun pada sesama (Soejitno Irmim, 2004: 90)

4. Pemimpin Berwatak Bintang (Hambeging Kartika)
            Bintang menggambarkan kepribadian, maqam atau posisi, bahkan cita-cita yang tinggi, kokoh, dan bersifat tetap seperti bintang di langit. Seringkali sesuatu yang paling baik disebut bintang, misalnya “bintang kelas” sebutan bagi anak yang paling pandai di kelasnya, “bintang lapangan” sebutan bagi seorang atlit yang berpenampilan baik pada sebuah pertandingan olahraga. Begitu pula dengan pangkat yang tinggi dalam kemiliteran juga dilambangkan dengan tanda bintang (Wawan Susetya, 2007: 12). Hubungannya dengan bintang sebagai cita-cita yang tinggi, maka seorang pemimpin harus selalu berpikiran jauh ke depan. Setidaknya ia memiliki gambaran masa depan dan dengan segala potensi yang dimilikinya diarahkan untuk mewujudkan impian negaranya untuk lebih maju dalam segala bidang. Pemimpin yang sukses selalu berpikir positif dan jauh ke depan. Bagi pemimpin yang berpikir positif tidak ada yang tak mungkin. Semua menjadi mungkin apabila dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Di tangan seorang pemimpin dengan pola pikir positif rintangan menjadi tantangan dan pada akhirnya tantangan akan membuka peluang. Peluang menjadi harapan, dan selangkah lagi menuju pintu sukses (Soejitno Irmim, 2004: 119).
            Bintang dengan sinar yang berkedip-kedip dan bertaburan di angkasa menambah indahnya pemandangan malam. Bintang juga sangat bermanfaat sebagi pedoman menentukan arah mata angin  khususnya bagi seseorang yang sedang berada di tempat yang sangat luas atau di tengah samudra. Bagi para petani, bintang dapat juga dipakai sebagai pedoman musim untuk memulai bercocok tanam. Bahkan bagi sebagian masyarakat Jawa masih meyakini kehadiran bintang (lintang) tertentu semisal Lintang Kemukus, Lintang Alihan, ada hubungannya (sebagai tanda) akan adanya suatu peristiwa penting yanga akan terjadi.
Bintang, dengan sifatnya yang konsisten pada tempatnya bahkan dapat digunakan sebagai penunjuk arah (kompas) bagi kafilah di padang pasir maupun pelaut di tengah samodra. Ini maknanya bahwa bagi pemimpin yang profesional harus konsisten (consistent / istiqomah) dalam bertindak terutama dalam melaksanakan ketentuan yang berlaku. Sebagai seorang pemimpin seharusnya tidak pernah ragu-ragu dalam mengambil keputusan yang memang sudah sesuai dengan porsinya, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang tidak relevan dengan materi yang semestinya. Dengan berperilaku demikian, pejabat dapat menjadi teladan sekaligus dapat menanamkan rasa keindahan dihati anak buahnya.
            Dengan meneladani watak bintang diharapkan seorang pemimpin mempunyai karakteristik kepribadian, antara lain: (a) mampu menjadikan dirinya sebagai sumber keindahan negara (sumber budaya); (b) mampu memerankan dirinya sebagai sosok yang dapat dijadikan sebagai teladan kesusilaan; (c) mampu memerankan dirinya sebagai sosok yang mencerminkan pribadi yang adi luhung (luhur mulia); (d) mampu menjadikan dirinya sebagai pedoman/panutan rakyatnya; dan (e) mampu menjadikan dirinya sebagai teladan dalam hal kemuliaan akhlak dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa (Pardi Suratno, 2006: 115).

5. Pemimpin Berwatak Api (Hambeging Dahana)
            Setiap pemimpin hendaknya dalam menegakkan hukum (peraturan) mampu meneladani sifat api yang mampu membakar dan menghanguskan apa yang diterjangnya. Makna simboliknya bahwa seorang pemimpin harus benar-benar berani bertindak tegas, berlaku adil, dan tidak pilih kasih dalam menegakkan supremasi hukum dan memberantas kejahatan. Tegas dalam arti dalam melaksanakan peraturan harus konsisten dan tidak mengenal kompromi terhadap mereka yang telah melanggar peraturan, sanksi harus diberikan bagi yang melanggar hukum, hukum harus ditegakkan. Seorang pemimpin diwajibkan mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil, benar dan salah menurut pandangan yang obyektif. Dalam memberikan sanksi harus bersikap adil artinya tidak memihak, kecuali pada keadilan itu sendiri. Seorang pemimpin dalam menghukum dan mengadili pelaku kejahatan tidak boleh tebang pilih, artinya hanya orang-orang tertentu yang menjadi sasarannya, ia tidak boleh memihak terhadap kepentingan pribadi ataupun golongan tertentu. Dengan bersikap adil maka seorang pemimpin akan terbebas dari keberpihakan yang dikhawatirkan akan mengurangi kemampuannya untuk mengenali masalah secara obyektif (Soejitno Irmim, 2004: 75). Dasar yang dipakai dalam menentukan keputusan adalah benar dan salah, bukan senang dan tidak senang. Jika terbukti bersalah ia tidak pandang bulu, baik dirinya, keluarganya, orang-orang dekatnya atau siapapun harus siap menerima sanksinya sesuai dengan kadar kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian seorang pemimpin dalam menegakkan supremasi hukum berwatak sama beda dana dhenda semua peraturan hukum berlaku bagi semua warga negara tanpa terkecuali. Seperti yang disebutkan dalam janturan jejer:
............ lampahing pengadilan hanindakaken sama beda dana dhenda, adhedhasar dana wesi asat, lire datan hambau kapine. Lamun sampun leresing kapidana, sanadyan garwa putra myang sentana sayekti kapatrapan ing pamisesa datan wigih areringa…”

            Panas bara api mampu menghanguskan semua benda yang dilaluinya, maknanya seorang pemimpin harus berani menghadapi segala ancaman, hambatan, rintangan, dan gangguan yang mengancam keselamatan rakyat, bangsa, dan negaranya. Semua hal yang dirasa membahayakan keselamatan negara dilibasnya. Pendek kata segala aral yang melintang akan patah hilang (Jw: rawe-rawe rantas malang-malang putung)      
            Seperti halnya api, dalam kadar tertentu api sangat bermanfaat dalam kehidupan manusia, baik sebagai penerangan, menghangatkan badan, memasak, maupun manfaat yang lainnya. Maknanya seorang pemimpin harus senantiasa berjasa bagi semua orang, ia bisa membangun motivasi kerja bawahannya, ia mampu membakar dan mengobarkan semangat rakyatnya.



6. Pemimpin Berwatak Awan (Hambeging mendhung)
            Mendhung (awan) memiliki sifat menakutkan. Dengan kehadiran sosoknya yang menyeramkan berwarna hitam kelam dan terkesan angker sehingga menimbulkan perasaan takut bagi yang melihatnya seakan-akan mendhung akan membawa bencana. Sosok mendhung yang angker dan menakutkan mempunyai makna simbolis sebagai bentuk kewibawaan seorang pemimpin. Sebuah kepemimpinan tidak akan berhasil apabila seorang pemimpin tidak mempunyai wibawa dan kharisma, karena akan selalu dihina, dilecehkan, dan dipandang sebelah mata oleh bawahannya. Beda kiranya seorang pemimpin yang penuh kharisma dan wibawa, maka banyak yang menaruh rasa segan dan hormat. Dari rasa segan dan hormat inilah maka segala perkataan maupun perintah seorang pemimpin akan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab.     Walau terkesan angker dan menakutkan, mendhung sebetulnya membawa berkah dengan turunnya air hujan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan makhluk hidup di dunia dan dengan adanya air hujan maka kesuburan bumi akan terjaga. Mendhung juga melindungi dari teriknya panas sinar matahari di siang hari. Maknanya, dengan kharisma dan wibawa yang dimilikinya bukan untuk mengintimidasi, menakut-nakuti rakyat, namun seorang pemimpin diharapkan mampu mengayomi dan melindungi rakyat, mampu mengupayakan kemakmuran negaranya. Kebijakan-kebijakan yang diambilnya bukan untuk membebani dan menyulitkan rakyat, akan tetapi untuk kesejahteraan rakyatnya. Bagaikan sebuah oase di padang pasir, ia mampu menyejukkan dan mengobati rasa dahaga.


7. Pemimpin Berwatak Samudera (Hambeging Samodra)
            Samodra atau segara terdiri dari unsur air. Oleh sebab itu dalam konsep kepemimpinannya, seorang pemimpin diharapkan mampu meneladani sifat air. Air sebagai sumber kehidupan dan air bersifat segar menyejukkan. Maknanya bahwa kehadiran seorang pemimpin sangat dibutuhkan di tengah-tengah rakyat  dan sedapat mungkin bermanfaat bagi rakyatnya, secara menyeluruh dan merata seperti permukaan air yang rata. Seorang pemimpin dipilih bukan untuk segelintir golongan, atau untuk kepentingan sesaat sekelompok orang, namun ia sudah menjadi milik semua komponen yang ada. Pemimpin dituntut untuk berpikir dan bertindak lintas kelompok, lintas suku bangsa, lintas agama, dan lintas golongan.
            Kehadiran seorang pemimpin diharapkan mampu menyejukkan dan mengobati rasa dahaga rakyatnya seperti halnya sifat air. Maknanya ia mampu memberikan solusi untuk menyembuhkan penderitaan rakyat. Seperti deskripsi watak seorang raja dalam janturan jejer yang menyebutkan seorang raja yang arif dan bijaksana mampu paring pangan wong kaluwen (memberi makan orang kelaparan), paring sandhang wong kang kawudan (memberi pakaian pada rakyat miskin), paring payung wong kodanan (memberi payung orang kehujanan), paring teken marang wong kalunyon (memberi tongkat yang berjalan di jalan licin). Seorang pemimpin diwajibkan mengetahui kesulitan yang dihadapi rakyatnya dan ia berusaha ikut meringankan penderitaan yang dihadapi rakyatnya.
            Samodra atau lautan merupakan kawasan air yang sangat luas. Semua mata air, semua sungai pasti bermuara pada lautan dengan membawa bermacam-macam sampah yang dibawanya. Demikian juga seorang pemimpin diharapkan mampu meneladani sifat samudera, ia harus dapat menerima segala persoalan negara, segala sesuatu yang menimpa negaranya, segala keinginan rakyatnya. Dengan lapang hati dan keluasan akal budinya seorang pemimpin harus mampu menerima realita yang terjadi di lapangan. Seorang pemimpin juga harus memiliki ati segara artinya harus berlapang dada dan penuh kesabaran. Pemimpin tidak boleh menaruh rasa marah, dengki, dan benci walau selalu dikritik, dihujat, dihina, dicela, atau bahkan berusaha dirongrong kekuasaannya. Pemimpin yang baik adalah yang mampu menjadi pendengar yang baik, sering kali seorang pemimpin menjadi tempat berkeluh kesah atau curhat tentang permasalahan yang dibawa rakyatnya.  Dalam falsafah Jawa, pemimpin yang baik harus bisa momot dan kamot maksudnya mampu menampung segala hal yang terjadi yang diakibatkan oleh tindakan rakyat atau bawahannya.
            Samudera selain luas juga dalam, maknanya bahwa seorang pemimpin harus mempunyai bekal ilmu dan pengetahuan yang luas dan dalam. Dengan menguasai berbagai ilmu dan pengetahuan maka dalam menelaah sebuah permasalahan bangsa selalu menggunakan rasionya dan ia tidak selalu dipandang sebelah mata oleh orang lain. Dengan kecakapan yang dimiliki seorang pemimpin diharapkan kemajuan bangsa akan segera terwujud.

8. Pemimpin Berwatak Angin (Hambeging Samirana)
            Angin memiliki sifat cerdik, ia mampu menelusup dan menempati segala ruang serta mampu hadir dalam situasi apapun. Makna simbolisnya seorang pemimpin harus mau terjun langsung di tengah-tengah rakyat untuk menjaring informasi dan mengetahui persoalan-persoalan yang sebenarnya terjadi di tengah-tengah rakyat. Jadi tidak hanya mengandalkan laporan dari bawahannya saja yang sering kali hanya melaporkan hal-hal yang baik-baik saja dan bertolakbelakang dengan realita yang terjadi di lapangan.
            Dengan meneladani watak angin tersebut, diharapkan seorang pemimpin setidaknya: (a) mengetahui derajat keberhasilan Negara dalam menyejahterakan rakyatnya; (b) mengetahui kekurangan-kekurangan pemerintahan yang dijalankannya; (c) mengetahui penilaian rakyat atas kepemimpinannya; (d) memahami dan merasakan langsung kesusahan dan kesenangan rakyatnya; dan (e) mengetahui tingkat kesejahteraan rakyatnya di setiap penjuru (Pardi Suratno, 2006:94).
            Angin juga tidak pernah berhenti dan tidak pilih kasih memberikan zatnya sebagai nafas kehidupan bagi seluruh makhluk hidup. Maknanya kehadiran seorang pemimpin harus bisa menghidupi atau mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
Gaya kepemimpinan sebagaimana terkandung dalam Asthabrata dapat diterapkan dalam majemen apapun, dari sejak zaman dahulu (kerajaan/kesultanan) di Nusantara ini sampai dengan gaya kepemimpinan dalam mengelola organisasi apapun baik pemerintah (public institution) maupun swasta (privat company) yang bersifat mencari laba ataupun yang bermotif sosial, bahkan di dalam kehidupan rumah tangga sekalipun.
Dalam mencapai visi dan misi perusahaan secara manajerial mutlak perlu adanya pola kepemimpinan (leadership role model) yang komprehensif dengan kebutuhan organisasi. Dari banyak model kepemimpinan yang ada, Asthabrata dapat juga dipakai sebagai salah satu model kepemimpinan alternatif.

Autobiografi Ki Tristuti Rahmadi Suryo Saputro


Latar Belakang Kehidupan Kesenimanan Tristuti Rahmadi Suryo Saputro
Oleh : Indriyanto, S.Sn.

            Tristuti Rahmadi Suryo Saputro lahir di desa Sugih Manik, Purwodadi, Grobogan pada tanggal 3 Januari 1939. Ia merupakan keturunan Soerjatman Jasa Soetarsa, seorang dalang dari Jombor, Klaten dengan Mintarsih. Namun disaat baru berumur 10 bulan, Tristuti kecil sudah kehilangan seorang figur ayah, karena sang ayah sudah menghadap ke pangkuan Illahi. Semenjak itu dia di asuh ibunya bersama seorang kakaknya yang bernama Slamet Surja Atmadja yang tinggal di Semarang. Walaupun hidup dalam lingkungan keluarga dalang, namun keluarga Tristuti berpikiran modern dan konserfatif. Sehingga Tristuti disekolahkan sampai jenjang yang tinggi menurut ukuran waktu itu. Dia lulusan B-1 Ilmu Pasti di Semarang pada tahun 1959, dan setelah lulus dia mengajar di salah satu SMA di Grobogan, Purwodadi namun hanya bertahan kurang lebih 1 tahun (wawancara 11 Agustus 2003). Kemajuan pendidikan Tristuti tidak terlepas dari dorongan ibu tirinya, Wilhelmine Vrederick Wenskhenk seorang keturunan Belanda ( Purbo Asmoro, 2004:22).
            Tristuti menikah pertama kali pada tahun 1961 dengan mantan siswanya waktu mengajar di SMA Purwodadi yang bernama Nasrini. Dari perkawinan tersebut dikaruniai tiga orang putri, Candra Tristanti, Yuli Tristanti, dan Riri Trisparanti. Namun saat menjalani hukuman sebagai tahanan politik rezim Orde Baru, mereka harus berpisah karena istri dan anak-anaknya direbut orang dan diajak pergi ke Sydney, Australia. Pada tahun 1980 Tristuti menikah untuk kedua kalinya dengan Mulyati dan dikaruniai seorang anak bernama Kinanthi Firman Sih. Pada pertengahan tahun 2000 Mulyati meninggal dunia, kemudian Tristuti menikah lagi dengan Denok pada tahun 2001 (Purbo Asmoro, 2004:23).
            Kepandaiannya dalam memainkan wayang awalnya diperolehnya lewat kakak ki. Slamet Surja Atmadja dan ibunya. Tristuti tidak pernah belajar pedalangan secara formal ke sekolah-sekolah pedalangan semacam PDMN (Pasinaon Dalang Mangkunegaran) atau PADASUKA (Pasinaon Dalang Surakarta) Untuk lebih mempertajam talentanya didunia pedalangan, Tristuti lebih senang berguru pada dalang-dalang di Klaten yang dianggap mampu dan memiliki keahlian khusus. Tristuti pernah nyantrik pada Hardja Martana, seorang pamannya yang tinggal di Kuwiran, Gondang, Klaten. Pernah juga nyantrik pada Wira dalang di Soran, kemudian di Teras. Mengenai hal ini Tristuti mengakui sebagai berikut:
            “ Dulu saya pripat lesnya itu ke Klaten, ke Kuwiran pada bapa paman saya Hardja Martana. Ke Soran, Soran itu yang sekarang di tempati Pak Kesdik, itu Pak Soran. Pak Teras….., pak Teras itu mbahne mas Manteb. Guru-guru saya dulu itu ya itu. Soran aslinipun Wira, ya terkenalnya itu mbah Soran. Mbah Teras itu ya mbah Teras. Kan jaman dulu kalau menyebut dalang itu tempat tinggalnya”.(Tristuti, wawancara 11 Agustus 2003).
           
            Seperti layaknya sistem nyantrik pada waktu itu, Tristuti juga mbatih atau ikut membantu pekerjaan rumah si empunya rumah. Kadang kala juga ikut merawat peralatan pentas, baik merawat wayang atau gamelan. Ia tidak sungkan untuk memotong batang pisang untuk pentas, menggelar tikar, memanggul gamelan dan menata wayang. Tristuti berusaha menyatu dan menghayati wayang dengan cara mendengar, melihat, memperhatikan, dan mempraktekkan apa yang dilakukan gurunya. Setelah umur 15 tahun Tristuti mulai bisa mendalang secara mandiri (Wawancara, 11 Agustus 2003).
            Baru pada saat menjadi pengajar di salah satu SMA di Grobogan itulah Tristuti mulai menekuni untuk mengadakan pentas pedalangan. Pada mulanya hanya pada saat sekolah tempatnya mengajar mengadakan perpisahan kelas 3, Tristuti diminta untuk pentas pakeliran. Berawal dari situlah akhirnya dia dikenal masyarakat luas dan mulai diminta untuk pentas pada saat murid-muridnya atau orang tua wali murid punya hajatan. Pada awalnya, sekali dua kali Tristuti tidak mau menerima upah dari murid atau orang tua wali murid yang punya hajatan karena dia beranggapan hanya sekedar membantu. Di lain waktu Tristuti dikirimi sembako ke asramanya sebagai ucapan terimakasih. Tristuti mulai mau menerima upah dalam mendalang saat ada famili dari kenalannya atau orang lain punya hajatan dan saat itu nilainya sebesar Rp. 500,- kemudian meningkat menjadi Rp. 750,- lalu Rp. 1.000,-. Padahal gaji yang diterimanya sebagai seorang guru pada waktu itu hanya Rp. 200,-. Setelah waktunya lebih banyak tersita untuk melayani pentas padalangan, Tristuti sekitar tahun 60-an memutuskan untuk keluar dari SMA tempat ia mengajar. Tristuti lebih memfokuskan dirinya untuk menggeluti dunia pedalangan secara profesional dan namanya pun semakin terkenal sehingga frekuensi pentasnya pun semakin padat. Daerah-daerah yang sering menjadi tempat pentas antara lain daerah pantai utara, Pati, Demak, Kudus, Rembang, Cepu, Randu Blatung, Weleri, Pekalongan, Solo, bahkan hingga Bojonegoro dan Lumajang. Upah untuk mendalang pun mengalami kenaikan mulai dari Rp. 2000,-,Rp.3000,- lalu Rp. 10.000,- hingga mencapai Rp.25.000,- yang pada saat itu nilai nominalnya termasuk tinggi dan mahal.( Tristuti, wawancara 11 Agustus 2003).
 Pada tahun 1963 Tristuti ditanggap di Galangan Kapal Ancol, Jakarta dengan imbalan Rp. 100.000,- sebuah imbalan yang sangat mahal dan tidak pernah diterima para dalang lain pada saat itu. Pada tahun 1963 Tristuti untuk pertama kalinya pergelaran wayangnya dikarciskan untuk umum. Kemudian pada tahun 1964 Tristuti bersama beberapa rekan-rekannya yang tergabung dalam Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA), sebuah organisasi milik Partai Komunis Indonesia (PKI) mengadakan eksperimen pedalangan di Semarang berupa pakeliran layar panjang dengan menampilkan tiga dalang (Purbo Asmoro, 2004:24-25).
            Selama menjadi seorang dalang, yang paling membahagiakan dan paling terkesan dalam hidupnya adalah pada tahun 1964 saat dia di minta untuk pentas mendalang di istana negara oleh Ir. Soekarno, Presiden RI waktu itu. Sehabis pentas, Tristuti diajak makan bersama oleh Ir. Soekarno dan dia diberi tambahan nama Suryo Saputro di belakang nama aslinya Tristuti Rahmadi (Tristuti, wawancara 11 Agustus 2003). Nama itu sampai sekarang tetap dipakainya karena ia anggap sebagai kenang-kenangan yang tidak pernah terlupakan.
            Pada saat konflik politik waktu itu sedang mengalami puncaknya dengan ditandai meletusnya peristiwa yang dikenal dengan gerakan G30 S/PKI turut berimbas pula terhadap perjalanan hidup Tristuti Rahmadi Suryo Saputro. Ia di tuding ikut terlibat gerakan yang di anggap terlarang oleh rezim Orde Baru tersebut. Sehingga Tristuti dianggap bersalah dan ditangkap oleh penguasa Orde Baru, kemudian dipenjara dengan cara berpindah-pindah dan pernah dibuang ke pulau Buru. Selama kurang lebih 14 tahun Tristuti menjalani hidupnya sebagai seorang tahanan dan buangan. Di dalam pembuangan inilah Tristuti banyak menimba ilmu dan mendapatkan pengalaman hidup yang kemudian ia curahkan lewat karya-karyanya dalam dunia pedalangan. Setelah bebas dari menjalani hukuman pada akhir tahun 1979, Tristuti berusaha menekuni kembali dunia pedalangan, namun setiap gerak-geriknya selalu diawasi oleh penguasa rezim Orde Baru, Tristuti dilarang untuk mengadakan pegelaran atau pentas mendalang (Tristuti, wawancara 11 Agustus 2003). Untuk menyangga hidup setelah bebas dari penjara, Tristuti pernah bekerja sebagai kuli bangunan pada sebuah proyek di Jetis, Yogyakarta. Baru pada tahun 1980 oleh Anom Suroto, Tristuti diminta untuk pentas dalam acara wetonan di rumahnya serta mengikuti pentas Anom Suroto sebagai penyimping atau pembuat naskah (Purbo Asmara, 2004:31) Berawal dari sinilah dan keterpasungannya oleh rezim Orde Baru, kemudian mendorongnya untuk berkarya dibalik layar lewat karya-karya sastra maupun ide-ide dan pemikirannya yang banyak digunakan oleh dalang-dalang popular saat ini, semisal Anom Suroto, Manteb Soedarsono, Purbo Asmoro dan masih banyak lagi.
Dalam setiap naskah lakon atau karya-karya sastranya baik berupa janturan, pocapan, antawacana, Tristuti mengungkapkan pengalaman batinnya dan hidupnya semasa menjalani hukuman dengan sangat prima  sehingga dramatisasi yang ditampilkan lewat garap lakon maupun garapan wacana pakelirannya mampu menyentuh rasa hayatan penonton.

Autobiografi Ki Narto Sabdo

Latar Belakang Kehidupan Kesenimanan Nartasabda
Oleh : Indriyanto, S.Sn., S.Pd.

            Nartasabda lahir pada tanggal 25 agustus 1925 di Krangkungan, Pandes, kecamatan Wedi, dan masih termasuk kedalam distrik kabupaten Klaten. Nartasabda lahir dengan nama Soenarta, ia anak bungsu dari pasangan Parta Tinaya dengan Kencur dan mempunyai tujuh orang saudara. Sejak berusia tiga tahun, Soenarta sudah menunjukkan rasa ketertarikannya pada bidang seni. Bersama kakanya yang bernama Mardanus, ia selalu mengikuti ayahnya bila klenengan atau mengiringi pentas pakeliran Ki Kandha Disana dari Pedan maupun Ki Ganda Warsana dari Ceper (salah satu kecamatan di Kabupaten Klaten). Hal tersebut berlangsung terus sampai ia dapat memainkan semua ricikan gamelan, yakni sekitar tahun 1936. saat itu Soenarta sudah menguasai permainan rebab, gender, dan kendang tanpa ada yang mengajarinya (Sumanto, 2002:17-18). Memang dalam kalangan seniman tradisional terutama dalang, pada saat itu para anak-anak dalang tidak diberi pelajaran kesenian secara khusus. Mereka mempelajarinya secara otodidak dengan cara hanya mengikuti pentas orang tuannya atau orang lain yang dianggap sebagai guru, sehingga anak tersebut belajar secara tidak langsung.
            Pada tahun 1933, Soenarta masuk sekolah Standard School Muhammadiyah di Jogonalan Klaten. Tiap sore ia bersama kakak perempuannya yang bernama Soemarsih belajar menari di Irobangsan, Wedi di bawah asuhan Raden Mas Suradji dari Surakarta. Karena keterbatasan orang tuanya dalam hal biaya, terpaksa ia putus sekolah saat duduk di kelas dua. Sementara bakat seni Soenarta makin berkembang setelah Romo Hardja Suwonda memasukkannya ke Sekolah Katolik. Di sana Soenarta mulai belajar melukis, menyanyi, memainkan gitar dan biola. Pada tahun 1936 Soenarta ikut rombongan Wayang Orang Sri Cahya Mulya selama dua bulan. Kemudian ia mengikuti Ki Pudja Sumarta seorang dalang dari Kuwasa, Klaten sebagai seorang pemain kendang. Selama mengikuti ki Pudja Sumarta inilah perhatian Soenarta terhadap pedalangan sudah mulai nampak. Setiap pulang dari pentas ia berusaha menirukan sulukan, narasi dan dialog tanpa memperdulikan caci maki serta hinaan dari rekan-rekannya (Sumanto, 2002:19-20)
            Sebelum menekuni dunia pedalangan, ternyata Soenarta telah mengikuti beberapa rombongan kesenian ketoprak maupun wayang orang. Rombongan kesenian yang pernah diikuti antara lain; ketoprak Budi Langen Wanodya, ketoprak Sri Widodo, ketoprak Sri Wandawa. Baru pada awal bulan November 1945, Soenarta ikut rombongan wayang orang Ngesthi Pandawa pimpinan Sastra Sabda. Berkat kemampuannya dalam karawitan, pada sekitar tahun 1950-an ia dipercaya sebagai pemain kendang sekaligus memimpin karawitan. Lebih dari itu, ia bahkan diangkat menjadi suadara muda Sastra Sabda dan diberikan tambahan nama Nartasabda. Selain sebagai pemain kendang, Nartasabda kadang-kadang berperan sebagai dalang wayang orang menggantikan peran Kasido apabila yang bersangkutan berhalangan hadir. Gaya penyuaraan narasinya meniru gaya Kasido, sulukan meniru Ki Pudjasumarta sedangkan keprakan-nya  menggunakan teknik yang dipakai dalam wayang kulit. Melihat penampilan Nartasabda sebagai dalang wayang orang mengesankan hati Sastra Sabda yang kemudian mendorong Nartasabda untuk lebih mendalami pedalangan wayang kulit. Pada mulanya Nartasabda membaca berbagai buku pedoman pedalangan (Jawa = pakem), kemudian atas bimbingan Gita Tjarita seorang dalang dari Surakarta yang tinggal di Semarang, Nartasabda mulai belajar menggerakkan wayang dan untuk lebih mendalaminya ditempuh dengan melihat pertunjukkan wayang (Sumanto, 2002:30-31)
            Gaya pedalangan yang dipakai Nartasabda pada awal kemunculannya berkiblat pada pakeliran gaya Surakarta dengan meniru gaya Ki Pudja Sumarta. Nartasabda beranggapan Ki Pudja Sumarta lah gurunya, meskipun ia sama sekali belum pernah diberikan pelajaran pedalangan secara langsung oleh ki Pudja Sumarta. Kiranya wajar bila pada awal penampilannya sebagai dalang berkiblat pada gaya Ki Pudja Sumarta, karena antara tahun 1936 sampai sekitar tahun 1939 Nartasabda menjadi pemain kendangnya (Sumanto, 2002:48). Nartasabda juga berguru pada Wignya Soetarna seorang dalang dari Pura Mangkunegaran. Tokoh ini terkenal mempunyai kelebihan dalam hal dramatisasi catur maupun sanggit dan mempunyai ciri khusus dalam bentuk bantahan. Pada gilirannya gaya tersebut banyak ditiru oleh Nartasabda (Sumari, 1996:100). Hal tersebut sangat lumrah terjadi di lingkungan para dalang karena menjadi suatu kebiasaan bahwa gaya pedalangan dalang-dalang terkenal (senior) sangat mempengaruhi gaya pedalangan dalang-dalang muda (yunior). Dalang-dalang muda sengaja mencontoh, karena menurut pandangan mereka gaya-gaya pedalangan dalang-dalang tenar pantas dijadikan pathokan (Jawa = ugeran). Selain itu juga dapat menjadi kunci keberhasilan pedalangan (Clara Van Groenandael, 1987:118).
            Seiring dengan perjalanan waktu, Nartasabda mulai tidak ketat mengikuti gaya pedalangan gaya Surakarta. Ia mulai berani melakukan perubahan-perubahan dalam penggarapan unsur-unsur pedalangan, baik itu sulukan, adegan, iringan yang digunakan dan masih banyak lagi. Perubahan yang dilakukan Nartasabda pada awalnya mendapat tentangan dari kalangan seniman tradisi  terutama para dalang-dalang karena dipandang telah menyimpang dari aturan-aturan yang sudah diakui secara konvensional (pakem yang sudah ada). Namun hal itu tidak menyurutkan semangatnya dalam berkarya dan justru lewat perubahan yang dilakukannya ternyata mampu meraih simpati penonton yang pada akhirnya mampu mengangkat Nartasabda sebagai dalang termasyur dan termahal pada jamannya.