Kamis, 23 April 2015

Autobiografi Ki Narto Sabdo

Latar Belakang Kehidupan Kesenimanan Nartasabda
Oleh : Indriyanto, S.Sn., S.Pd.

            Nartasabda lahir pada tanggal 25 agustus 1925 di Krangkungan, Pandes, kecamatan Wedi, dan masih termasuk kedalam distrik kabupaten Klaten. Nartasabda lahir dengan nama Soenarta, ia anak bungsu dari pasangan Parta Tinaya dengan Kencur dan mempunyai tujuh orang saudara. Sejak berusia tiga tahun, Soenarta sudah menunjukkan rasa ketertarikannya pada bidang seni. Bersama kakanya yang bernama Mardanus, ia selalu mengikuti ayahnya bila klenengan atau mengiringi pentas pakeliran Ki Kandha Disana dari Pedan maupun Ki Ganda Warsana dari Ceper (salah satu kecamatan di Kabupaten Klaten). Hal tersebut berlangsung terus sampai ia dapat memainkan semua ricikan gamelan, yakni sekitar tahun 1936. saat itu Soenarta sudah menguasai permainan rebab, gender, dan kendang tanpa ada yang mengajarinya (Sumanto, 2002:17-18). Memang dalam kalangan seniman tradisional terutama dalang, pada saat itu para anak-anak dalang tidak diberi pelajaran kesenian secara khusus. Mereka mempelajarinya secara otodidak dengan cara hanya mengikuti pentas orang tuannya atau orang lain yang dianggap sebagai guru, sehingga anak tersebut belajar secara tidak langsung.
            Pada tahun 1933, Soenarta masuk sekolah Standard School Muhammadiyah di Jogonalan Klaten. Tiap sore ia bersama kakak perempuannya yang bernama Soemarsih belajar menari di Irobangsan, Wedi di bawah asuhan Raden Mas Suradji dari Surakarta. Karena keterbatasan orang tuanya dalam hal biaya, terpaksa ia putus sekolah saat duduk di kelas dua. Sementara bakat seni Soenarta makin berkembang setelah Romo Hardja Suwonda memasukkannya ke Sekolah Katolik. Di sana Soenarta mulai belajar melukis, menyanyi, memainkan gitar dan biola. Pada tahun 1936 Soenarta ikut rombongan Wayang Orang Sri Cahya Mulya selama dua bulan. Kemudian ia mengikuti Ki Pudja Sumarta seorang dalang dari Kuwasa, Klaten sebagai seorang pemain kendang. Selama mengikuti ki Pudja Sumarta inilah perhatian Soenarta terhadap pedalangan sudah mulai nampak. Setiap pulang dari pentas ia berusaha menirukan sulukan, narasi dan dialog tanpa memperdulikan caci maki serta hinaan dari rekan-rekannya (Sumanto, 2002:19-20)
            Sebelum menekuni dunia pedalangan, ternyata Soenarta telah mengikuti beberapa rombongan kesenian ketoprak maupun wayang orang. Rombongan kesenian yang pernah diikuti antara lain; ketoprak Budi Langen Wanodya, ketoprak Sri Widodo, ketoprak Sri Wandawa. Baru pada awal bulan November 1945, Soenarta ikut rombongan wayang orang Ngesthi Pandawa pimpinan Sastra Sabda. Berkat kemampuannya dalam karawitan, pada sekitar tahun 1950-an ia dipercaya sebagai pemain kendang sekaligus memimpin karawitan. Lebih dari itu, ia bahkan diangkat menjadi suadara muda Sastra Sabda dan diberikan tambahan nama Nartasabda. Selain sebagai pemain kendang, Nartasabda kadang-kadang berperan sebagai dalang wayang orang menggantikan peran Kasido apabila yang bersangkutan berhalangan hadir. Gaya penyuaraan narasinya meniru gaya Kasido, sulukan meniru Ki Pudjasumarta sedangkan keprakan-nya  menggunakan teknik yang dipakai dalam wayang kulit. Melihat penampilan Nartasabda sebagai dalang wayang orang mengesankan hati Sastra Sabda yang kemudian mendorong Nartasabda untuk lebih mendalami pedalangan wayang kulit. Pada mulanya Nartasabda membaca berbagai buku pedoman pedalangan (Jawa = pakem), kemudian atas bimbingan Gita Tjarita seorang dalang dari Surakarta yang tinggal di Semarang, Nartasabda mulai belajar menggerakkan wayang dan untuk lebih mendalaminya ditempuh dengan melihat pertunjukkan wayang (Sumanto, 2002:30-31)
            Gaya pedalangan yang dipakai Nartasabda pada awal kemunculannya berkiblat pada pakeliran gaya Surakarta dengan meniru gaya Ki Pudja Sumarta. Nartasabda beranggapan Ki Pudja Sumarta lah gurunya, meskipun ia sama sekali belum pernah diberikan pelajaran pedalangan secara langsung oleh ki Pudja Sumarta. Kiranya wajar bila pada awal penampilannya sebagai dalang berkiblat pada gaya Ki Pudja Sumarta, karena antara tahun 1936 sampai sekitar tahun 1939 Nartasabda menjadi pemain kendangnya (Sumanto, 2002:48). Nartasabda juga berguru pada Wignya Soetarna seorang dalang dari Pura Mangkunegaran. Tokoh ini terkenal mempunyai kelebihan dalam hal dramatisasi catur maupun sanggit dan mempunyai ciri khusus dalam bentuk bantahan. Pada gilirannya gaya tersebut banyak ditiru oleh Nartasabda (Sumari, 1996:100). Hal tersebut sangat lumrah terjadi di lingkungan para dalang karena menjadi suatu kebiasaan bahwa gaya pedalangan dalang-dalang terkenal (senior) sangat mempengaruhi gaya pedalangan dalang-dalang muda (yunior). Dalang-dalang muda sengaja mencontoh, karena menurut pandangan mereka gaya-gaya pedalangan dalang-dalang tenar pantas dijadikan pathokan (Jawa = ugeran). Selain itu juga dapat menjadi kunci keberhasilan pedalangan (Clara Van Groenandael, 1987:118).
            Seiring dengan perjalanan waktu, Nartasabda mulai tidak ketat mengikuti gaya pedalangan gaya Surakarta. Ia mulai berani melakukan perubahan-perubahan dalam penggarapan unsur-unsur pedalangan, baik itu sulukan, adegan, iringan yang digunakan dan masih banyak lagi. Perubahan yang dilakukan Nartasabda pada awalnya mendapat tentangan dari kalangan seniman tradisi  terutama para dalang-dalang karena dipandang telah menyimpang dari aturan-aturan yang sudah diakui secara konvensional (pakem yang sudah ada). Namun hal itu tidak menyurutkan semangatnya dalam berkarya dan justru lewat perubahan yang dilakukannya ternyata mampu meraih simpati penonton yang pada akhirnya mampu mengangkat Nartasabda sebagai dalang termasyur dan termahal pada jamannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar