Makna
Simbolisme Nilai-nilai Kepemimpinan Ajaran Hasthabrata.
Oleh : Indriyanto, S.Sn., S.Pd.
Simbolisme
terbentuk berdasarkan kesepakatan sekelompok manusia, sehingga dimungkinkan
timbulnya perbedaan maupun persamaan dalam hal pengertian dan penggunaaan suatu
simbol. Simbol-simbol tersebut perlu ditafsirkan sejalan pula dengan keadaan
(nafas jaman) masa kini, hal ini bertujuan untuk dapat menemukan makna yang
lebih komprehensif. Berkenaan dengan hal tersebut, untuk mengupas lebih dalam
makna simbolisme kepemimpinan dalam ajaran Hasthabrata akan ditelaah dari
simbolisasi watak/sifat yang diambil dari benda-benda alam sesuai dengan
pergeseran pola pikir, budaya, dan keyakinan masyarakat Jawa dari hal-hal yang
bersifat kadewatan (dewa-dewa) menjadi kadonyan (benda-benda
alam). Di sisi lain dengan menggunakan simbolisasi ajaran kepemimpinan yang
mengacu pada watak/sifat benda-benda alam diharapkan akan memiliki ruang
lingkup penafsiran yang lebih luas dan lebih fleksibel jika dibandingkan
menggunakan watak atau perilaku dewa-dewa yang dapat dikatakan sudah bersifat maton
(sudah pasti) sehingga dikhawatirkan akan mempersempit atau bahkan membatasi
upaya penafsiran lebih lanjut. Konsep kepemimpinan yang meneladani perwatakan
delapan anasir alam semesta adalah sebagai berikut:
1. Pemimpin Berwatak Bumi (Hambeging Kisma).
Seorang pemimpin
hendaklah meneladani watak bumi. Bumi memiliki watak sosok yang dapat menampung
seluruh makhluk hidup di dunia, bumi berwatak pasrah, rela (lila legawa),
suci, jujur, teguh, kuat, dan sentosa. Dengan menggunakan simbolisasi watak
bumi yang mampu menampung seluruh makhluk hidup diharapkan seorang pemimpin
mampu menerima seluruh lapisan rakyatnya (bawahannya) tanpa memandang suku,
agama, ras, maupun golongannya. Ia harus bisa menerima dengan tangan terbuka
seluruh rakyatnya walaupun masing-masing memiliki karakter, keinginan, perilaku,
dan kepribadian yang berbeda-beda. Seorang pemimpin harus mampu memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyatnya untuk berkembang dan maju.
Pemimpin harus memiliki watak suci, ikhlas, rela, dan pemurah sebagaimana watak
bumi yang dengan rela dan ikhlas diinjak-injak oleh seluruh makhluk yang ada di
muka bumi tanpa merasa berat menanggungnya. Bahkan ia ikhlas dicangkul,
dibajak, digali, ditanami, maupun di eksploitasi. Bumi tidak berkeluh kesah,
marah atau pun mendendam, malah sebaliknya ia akan memberikan kekayaan yang
dimilikinya berupa hasil bumi untuk dimanfaatkan bagi kemakmuran seluruh
makhluk hidup. Maknanya simbolisnya bahwa seorang pemimpin harus selalu
berderma, tidak mendendam ataupun sakit hati walau mendapat perlakuan yang
kurang menyenangkan dari rakyatnya. Bahkan dalam perspektif tasawuf, seorang
sufi diharapkan bisa seperti tanah, yang ikhlas, tidak nggrundel (keluh
kesah) walau dia menjadi jalan dan diinjak-injak oleh orang, bahkan oleh hewan
sekalipun (Wawan Susetya, 2007: 8). Dengan meneladani watak bumi, seorang
pemimpin harus mempunyai sikap rila lamun ketaman, ora getun lamun
kelangan yang makna harfiahnya ikhlas ketika sedang tertimpa musibah atau
masalah dan tidak menyesal ketika kehilangan. Melalui keikhlasannya ia selalu sumarah
marang kersaning sing gawe urip atau selalu berserah diri/pasrah kepada
Tuhan (Pardi Suratno, 2005: 175).
Dalam janturan jejer sering kali seorang raja
atau pemimpin digambarkan selau berwatak sarahita, danahita, darmahita
yang maksudnya seorang raja harus selalu memikirkan, menolong, dan melayani
rakyatnya dengan ringan tangan. Dengan kemampuan yang dimilikinya (sumber daya
yang ada) ia selalu berusaha menyediakan kebutuhan rakyatnya. Raja harus berlaku
jujur, adil, arif, dan bijaksana
sehingga negara menjadi kuat, aman, makmur, merata, dan sejahtera.
Bumi yang mempunyai
sifat “pemurah” di sini kurang lebih diartikan bahwa seorang pemimpin harus
produktif, hasil kerjanya bermanfaat bagi lembaga sesuai dengan fungsi dan
kontribusinya. Untuk ini pemimpin tentunya harus dapat memberdayakan (enforcing)
segala sumber daya yang ada termasuk sumber daya manusia, antara lain
memberikan bekal ketrampilan untuk melaksanakan tugas serta arahan agar menjadi
produktif dalam bekerja. Dalam hal ini dapat pula diartikan bahwa seorang
pemimpin hendaknya dapat bekerja bersama-sama dengan anak buahnya dengan saling
mengisi (synergy) sehingga secara kelompok mampu membuahkan hasil kerja
yang optimal.
Kejujuran menjadi salah satu modal dasar seorang
pemimpin yang ingin mendapat pengakuan dari bawahannya. Bumi juga memiliki
watak jujur, ia tidak berbohong dan selalu berusaha mengungkap kebenaran. Ketika
ditanami biji jagung maka yang tumbuh adalah pohon jagung, bila di tanami biji
mangga maka yang akan tumbuh pohon mangga juga. Harfiahnya seorang pemimpin
harus mengatakan sesuatu hal sesuai kebenaran sehingga rakyat dapat memperoleh
kepastian yang nyata. Pemimpin yang jujur tidak akan melakukan kecurangan,
menipu, korupsi, kebohongan publik, atau hal-hal yang merugikan negara. Jujur
dan dapat dipercaya menjadi satu kesatuan tunggal yang tak boleh diabaikan oleh
seorang pemimpin. Kejujuran bukan hanya untuk orang lain saja, namun yang yang
mendasar adalah jujur dan dapat dipercaya oleh dirinya sendiri, artinya ia tak
pernah membohongi dirinya sendiri. Hal ini penting, karena tak ada gunanya
jujur pada orang lain tetapi pada dirinya sendiri ia bohong (mengingkari hati
nurani). Seorang pemimpin yang baik akan selalu konsisten terhadap apa yang
diucapkannya walaupun kadang-kadang pahit rasanya.
Sifat lain bumi adalah kuat dan tidak mudah goyah
walaupun banyak beban di atasnya. Demikian juga seorang pemimpin harus
mempunyai pendirian yang kuat dan tidak mudah goyah, ia merupakan figur yang
pantang menyerah, punya dedikasi tinggi, serta tidak mudah putus asa dalam
menghadapi berbagai persoalan.
2. Pemimpin Berwatak Matahari (Hambeging
Surya)
Matahari (Jw: srengenge)
lewat pancaran sinarnya mampu memberi kehidupan di muka bumi. Sinar matahari
mampu menerangi dunia dan merupakan sumber energi. Dalam tugasnya menerangi
dunia, matahari tidak pilih kasih, semua yang ada dalam jangkauannya pasti akan
menerima kehangatan sinarnya. Entah itu makhluk hidup ataupun benda mati ikut
merasakan kehangatan sinar matahari dan kadar panasnya pun sama dan merata.
Makna simboliknya bahwa seorang pemimpin harus mampu memberi penerangan dan
sebagai sumber pencerahan lewat pemikirannya, ia harus mampu membangkitkan
motivasi para bawahannya dengan demikian rakyat merasa mendapatkan semangat
hidup dan merasa bahagia. Seorang pemimpin juga harus bisa berlaku adil dan
merata dalam memberikan pelayanan kepada rakyatnya karena pada hakikatnya seorang
pemimpin bukanlah penguasa yang minta dilayani oleh rakyatnya namun sebaliknya
ia adalah pelayan masyarakat yang setiap saat harus siap melayani kebutuhan
masyarakat. Ia tidak boleh membeda-bedakan suku, agama, kelompok, ras, dan
strata sosialnya. Semua harus dirangkul dan mendapatkan perlakuan yang sama
tanpa ada yang merasa disisihkan (dianaktirikan).
Sinar matahari juga
sangat besar manfaatnya bagi kelangsungan hidup makhluk hidup di dunia ini.
Bagi tumbuh-tumbuhan sinar matahari sangat membantu dalam proses metabolisme
demi kelangsungan hidupnya. Bagi manusia, sinar matahari dapat dimanfaatkan
sebagai salah satu sumber energi (tenaga), proses penjemuran hasil panen,
pengeringan cucian dan masih banyak lagi. Makna simbolisnya bahwa seorang
pemimpin dengan segala potensi yang dimilikinya harus senantiasa bermanfaat
bagi rakyatnya, ia akan selalu berusaha menjaga kelangsungan hidup dan
meningkatkan taraf hidup rakyatnya kearah yang lebih baik. Matahari yang
sifatnya selalu memberikan penerangan kepada alam semesta dan memberikan enerji
sebagai sumber kehidupan makluk hidup di dunia ini merefleksikan bahwa pemimpin
harus dapat memberikan arahan, bimbingan maupun penjelasan kepada anak buahnya
terutama mengenai pekerjaan atau bidang tugasnya. Pemimpin harus dapat
menularkan keahlian/ketrampilan kepada anak buahnya, sehingga mempunyai
kemampuan dalam melaksanakan tugasnya. Ini semua akan merupakan bekal enerji
yang sangat berarti untuk meningkatkan kompetensi SDM (human resource
competency) dalam rangka mencapai satuan kerja yang berkinerja tinggi.
Perjalanan matahari
mulai terbit sampai terbenam menggambarkan suatu perjalanan yang istiqomah
atau pepatah Jawa menyebutnya alon maton, alon-alon waton kelakon (Wawan
Susetya, 2007: 11). Hal ini memberikan suatu gambaran bagi seorang pemimpin
dalam mengatasi persoalan negara hendaknya selalu menempuh cara-cara yang
halus, penuh kehati-hatian, tidak tergesa-gesa (Jw: grusa-grusu), penuh
kesabaran dan ketenangan sehingga tidak akan memperkeruh suasana namun persoalan
yang dihadapinya dapat terselesaikan dengan baik.
3. Pemimpin Berwatak Rembulan (Hambeging
Candra)
Rembulan memiliki
cahaya yang dapat menerangi kegelapan malam, maknanya seorang pemimpin
hendaklah mampu memberi pencerahan atau jalan keluar terhadap persoalan yang
dihadapi rakyat dan bangsanya. Sebagaimana kita
ketahui bahwa bulan mempunyai sifat memberikan penerangan di saat malam gelap
sekaligus memberikan rasa keindahan di malam hari. Di sini, pemimpin dituntut
untuk dapat memberikan jalan keluar atau ikut dalam memberikan sumbang saran
kepada anak buahnya yang sedang menghadapi kesulitan baik secara kedinasan
maupun secara pribadi. Di samping itu hendaknya pemimpin juga dapat menghibur
anak buahnya yg sedang dalam kondisi sulit, sehingga mereka tidak hanyut dalam
kesedihan. Seorang pemimpin harus mampu menimbulkan
semangat serta rasa percaya diri saat menghadapi krisis maupun kesusahan dan
kesulitan. Pemimpin wajib memberikan pelajaran, penerangan, dan berusaha mengangkat rakyat dari gelapnya
kebodohan dan keterbelakangan.
Cahaya rembulan juga tidak menyengat, maknanya dalam
memberikan petunjuk atau arahan-arahan pada bawahannya harus dilakukan dengan
cara yang lembut, santun tanpa melukai perasaan. Dengan cara demikian bawahan
tidak merasa sedang dinasehati atau dimarahi oleh pimpinannya sehingga
keharmonisan hubungan antara pimpinan dan bawahan/rakyatnya tetap terjaga
dengan baik.
Rembulan memiliki
bentuk yang indah dengan cahayanya yang lembut bila malam tiba seakan-akan
suasana terasa romantis dan menyenangkan. Makna simboliknya seorang pemimpin
harus selalu berpenampilan menarik baik dalam hal berbusana maupun bertutur kata, berperilaku yang baik dan
terpuji. Seorang pemimpin harus memiliki sikap rendah hati (Jw: andhap asor),
tutur katanya lembut, ramah, murah senyum, dan kesopananya terjaga. Seorang
pemimpin yang baik akan menggunakan jabatannya untuk membangun masyarakat
dengan mengembangkan sikap yang santun pada sesama (Soejitno Irmim, 2004: 90)
4. Pemimpin Berwatak Bintang (Hambeging
Kartika)
Bintang
menggambarkan kepribadian, maqam atau posisi, bahkan cita-cita yang
tinggi, kokoh, dan bersifat tetap seperti bintang di langit. Seringkali sesuatu
yang paling baik disebut bintang, misalnya “bintang kelas” sebutan bagi anak
yang paling pandai di kelasnya, “bintang lapangan” sebutan bagi seorang atlit
yang berpenampilan baik pada sebuah pertandingan olahraga. Begitu pula dengan
pangkat yang tinggi dalam kemiliteran juga dilambangkan dengan tanda bintang
(Wawan Susetya, 2007: 12). Hubungannya dengan bintang sebagai cita-cita yang
tinggi, maka seorang pemimpin harus selalu berpikiran jauh ke depan. Setidaknya
ia memiliki gambaran masa depan dan dengan segala potensi yang dimilikinya diarahkan
untuk mewujudkan impian negaranya untuk lebih maju dalam segala bidang.
Pemimpin yang sukses selalu berpikir positif dan jauh ke depan. Bagi pemimpin
yang berpikir positif tidak ada yang tak mungkin. Semua menjadi mungkin apabila
dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Di tangan seorang pemimpin dengan pola pikir
positif rintangan menjadi tantangan dan pada akhirnya tantangan akan membuka
peluang. Peluang menjadi harapan, dan selangkah lagi menuju pintu sukses
(Soejitno Irmim, 2004: 119).
Bintang dengan
sinar yang berkedip-kedip dan bertaburan di angkasa menambah indahnya
pemandangan malam. Bintang juga sangat bermanfaat sebagi pedoman menentukan
arah mata angin khususnya bagi seseorang
yang sedang berada di tempat yang sangat luas atau di tengah samudra. Bagi para
petani, bintang dapat juga dipakai sebagai pedoman musim untuk memulai bercocok
tanam. Bahkan bagi sebagian masyarakat Jawa masih meyakini kehadiran bintang (lintang)
tertentu semisal Lintang Kemukus, Lintang Alihan, ada
hubungannya (sebagai tanda) akan adanya suatu peristiwa penting yanga akan
terjadi.
Bintang, dengan sifatnya yang konsisten pada tempatnya
bahkan dapat digunakan sebagai penunjuk arah (kompas) bagi kafilah di padang
pasir maupun pelaut di tengah samodra. Ini maknanya bahwa bagi pemimpin yang
profesional harus konsisten (consistent / istiqomah) dalam
bertindak terutama dalam melaksanakan ketentuan yang berlaku. Sebagai seorang
pemimpin seharusnya tidak pernah ragu-ragu dalam mengambil keputusan yang
memang sudah sesuai dengan porsinya, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh
hal-hal yang tidak relevan dengan materi yang semestinya. Dengan berperilaku
demikian, pejabat dapat menjadi teladan sekaligus dapat menanamkan rasa
keindahan dihati anak buahnya.
Dengan meneladani
watak bintang diharapkan seorang pemimpin mempunyai karakteristik kepribadian,
antara lain: (a) mampu menjadikan dirinya sebagai sumber keindahan negara
(sumber budaya); (b) mampu memerankan dirinya sebagai sosok yang dapat
dijadikan sebagai teladan kesusilaan; (c) mampu memerankan dirinya sebagai
sosok yang mencerminkan pribadi yang adi luhung (luhur mulia); (d) mampu
menjadikan dirinya sebagai pedoman/panutan rakyatnya; dan (e) mampu menjadikan
dirinya sebagai teladan dalam hal kemuliaan akhlak dan ketakwaannya kepada
Tuhan Yang Maha Esa (Pardi Suratno, 2006: 115).
5. Pemimpin Berwatak Api (Hambeging
Dahana)
Setiap pemimpin
hendaknya dalam menegakkan hukum (peraturan) mampu meneladani sifat api yang
mampu membakar dan menghanguskan apa yang diterjangnya. Makna simboliknya bahwa
seorang pemimpin harus benar-benar berani bertindak tegas, berlaku adil, dan
tidak pilih kasih dalam menegakkan supremasi hukum dan memberantas kejahatan.
Tegas dalam arti dalam melaksanakan peraturan harus konsisten dan tidak
mengenal kompromi terhadap mereka yang telah melanggar peraturan, sanksi harus
diberikan bagi yang melanggar hukum, hukum harus ditegakkan. Seorang pemimpin
diwajibkan mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil,
benar dan salah menurut pandangan yang obyektif. Dalam memberikan sanksi harus
bersikap adil artinya tidak memihak, kecuali pada keadilan itu sendiri. Seorang
pemimpin dalam menghukum dan mengadili pelaku kejahatan tidak boleh tebang
pilih, artinya hanya orang-orang tertentu yang menjadi sasarannya, ia tidak
boleh memihak terhadap kepentingan pribadi ataupun golongan tertentu. Dengan
bersikap adil maka seorang pemimpin akan terbebas dari keberpihakan yang dikhawatirkan
akan mengurangi kemampuannya untuk mengenali masalah secara obyektif (Soejitno
Irmim, 2004: 75). Dasar yang dipakai dalam menentukan keputusan adalah benar
dan salah, bukan senang dan tidak senang. Jika terbukti bersalah ia tidak
pandang bulu, baik dirinya, keluarganya, orang-orang dekatnya atau siapapun
harus siap menerima sanksinya sesuai dengan kadar kesalahan yang dilakukannya.
Dengan demikian seorang pemimpin dalam menegakkan supremasi hukum berwatak sama
beda dana dhenda semua peraturan hukum berlaku bagi semua warga negara
tanpa terkecuali. Seperti yang disebutkan dalam janturan jejer:
“............ lampahing pengadilan hanindakaken sama beda dana
dhenda, adhedhasar dana wesi asat, lire datan hambau kapine. Lamun sampun
leresing kapidana, sanadyan garwa putra myang sentana sayekti kapatrapan ing
pamisesa datan wigih areringa…”
Panas bara api
mampu menghanguskan semua benda yang dilaluinya, maknanya seorang pemimpin
harus berani menghadapi segala ancaman, hambatan, rintangan, dan gangguan yang
mengancam keselamatan rakyat, bangsa, dan negaranya. Semua hal yang dirasa
membahayakan keselamatan negara dilibasnya. Pendek kata segala aral yang
melintang akan patah hilang (Jw: rawe-rawe rantas malang-malang putung)
Seperti halnya api,
dalam kadar tertentu api sangat bermanfaat dalam kehidupan manusia, baik
sebagai penerangan, menghangatkan badan, memasak, maupun manfaat yang lainnya.
Maknanya seorang pemimpin harus senantiasa berjasa bagi semua orang, ia bisa
membangun motivasi kerja bawahannya, ia mampu membakar dan mengobarkan semangat
rakyatnya.
6. Pemimpin Berwatak Awan (Hambeging
mendhung)
Mendhung (awan)
memiliki sifat menakutkan. Dengan kehadiran sosoknya yang menyeramkan berwarna
hitam kelam dan terkesan angker sehingga menimbulkan perasaan takut bagi yang
melihatnya seakan-akan mendhung akan membawa bencana. Sosok mendhung
yang angker dan menakutkan mempunyai makna simbolis sebagai bentuk kewibawaan
seorang pemimpin. Sebuah kepemimpinan tidak akan berhasil apabila seorang
pemimpin tidak mempunyai wibawa dan kharisma, karena akan selalu dihina, dilecehkan,
dan dipandang sebelah mata oleh bawahannya. Beda kiranya seorang pemimpin yang
penuh kharisma dan wibawa, maka banyak yang menaruh rasa segan dan hormat. Dari
rasa segan dan hormat inilah maka segala perkataan maupun perintah seorang
pemimpin akan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Walau terkesan angker dan menakutkan, mendhung
sebetulnya membawa berkah dengan turunnya air hujan yang sangat bermanfaat bagi
kelangsungan makhluk hidup di dunia dan dengan adanya air hujan maka kesuburan
bumi akan terjaga. Mendhung juga melindungi dari teriknya panas
sinar matahari di siang hari. Maknanya, dengan kharisma dan wibawa yang
dimilikinya bukan untuk mengintimidasi, menakut-nakuti rakyat, namun seorang
pemimpin diharapkan mampu mengayomi dan melindungi rakyat, mampu mengupayakan
kemakmuran negaranya. Kebijakan-kebijakan yang diambilnya bukan untuk membebani
dan menyulitkan rakyat, akan tetapi untuk kesejahteraan rakyatnya. Bagaikan
sebuah oase di padang pasir, ia mampu menyejukkan dan mengobati rasa dahaga.
7. Pemimpin Berwatak Samudera (Hambeging
Samodra)
Samodra atau
segara terdiri dari unsur air. Oleh sebab itu dalam konsep
kepemimpinannya, seorang pemimpin diharapkan mampu meneladani sifat air. Air
sebagai sumber kehidupan dan air bersifat segar menyejukkan. Maknanya bahwa
kehadiran seorang pemimpin sangat dibutuhkan di tengah-tengah rakyat dan sedapat mungkin bermanfaat bagi
rakyatnya, secara menyeluruh dan merata seperti permukaan air yang rata.
Seorang pemimpin dipilih bukan untuk segelintir golongan, atau untuk
kepentingan sesaat sekelompok orang, namun ia sudah menjadi milik semua
komponen yang ada. Pemimpin dituntut untuk berpikir dan bertindak lintas
kelompok, lintas suku bangsa, lintas agama, dan lintas golongan.
Kehadiran seorang pemimpin
diharapkan mampu menyejukkan dan mengobati rasa dahaga rakyatnya seperti halnya
sifat air. Maknanya ia mampu memberikan solusi untuk menyembuhkan penderitaan
rakyat. Seperti deskripsi watak seorang raja dalam janturan jejer yang
menyebutkan seorang raja yang arif dan bijaksana mampu paring pangan wong
kaluwen (memberi makan orang kelaparan), paring sandhang wong kang kawudan
(memberi pakaian pada rakyat miskin), paring payung wong kodanan
(memberi payung orang kehujanan), paring teken marang wong kalunyon
(memberi tongkat yang berjalan di jalan licin). Seorang pemimpin diwajibkan
mengetahui kesulitan yang dihadapi rakyatnya dan ia berusaha ikut meringankan
penderitaan yang dihadapi rakyatnya.
Samodra atau
lautan merupakan kawasan air yang sangat luas. Semua mata air, semua sungai
pasti bermuara pada lautan dengan membawa bermacam-macam sampah yang dibawanya.
Demikian juga seorang pemimpin diharapkan mampu meneladani sifat samudera, ia
harus dapat menerima segala persoalan negara, segala sesuatu yang menimpa
negaranya, segala keinginan rakyatnya. Dengan lapang hati dan keluasan akal
budinya seorang pemimpin harus mampu menerima realita yang terjadi di lapangan.
Seorang pemimpin juga harus memiliki ati segara artinya harus berlapang
dada dan penuh kesabaran. Pemimpin tidak boleh menaruh rasa marah, dengki, dan
benci walau selalu dikritik, dihujat, dihina, dicela, atau bahkan berusaha
dirongrong kekuasaannya. Pemimpin yang baik adalah yang mampu menjadi pendengar
yang baik, sering kali seorang pemimpin menjadi tempat berkeluh kesah atau
curhat tentang permasalahan yang dibawa rakyatnya. Dalam falsafah Jawa, pemimpin yang baik harus
bisa momot dan kamot maksudnya mampu menampung segala hal yang
terjadi yang diakibatkan oleh tindakan rakyat atau bawahannya.
Samudera selain
luas juga dalam, maknanya bahwa seorang pemimpin harus mempunyai bekal ilmu dan
pengetahuan yang luas dan dalam. Dengan menguasai berbagai ilmu dan pengetahuan
maka dalam menelaah sebuah permasalahan bangsa selalu menggunakan rasionya dan
ia tidak selalu dipandang sebelah mata oleh orang lain. Dengan kecakapan yang
dimiliki seorang pemimpin diharapkan kemajuan bangsa akan segera terwujud.
8. Pemimpin Berwatak Angin (Hambeging
Samirana)
Angin memiliki
sifat cerdik, ia mampu menelusup dan menempati segala ruang serta mampu hadir
dalam situasi apapun. Makna simbolisnya seorang pemimpin harus mau terjun
langsung di tengah-tengah rakyat untuk menjaring informasi dan mengetahui
persoalan-persoalan yang sebenarnya terjadi di tengah-tengah rakyat. Jadi tidak
hanya mengandalkan laporan dari bawahannya saja yang sering kali hanya
melaporkan hal-hal yang baik-baik saja dan bertolakbelakang dengan realita yang
terjadi di lapangan.
Dengan meneladani watak
angin tersebut, diharapkan seorang pemimpin setidaknya: (a) mengetahui derajat
keberhasilan Negara dalam menyejahterakan rakyatnya; (b) mengetahui
kekurangan-kekurangan pemerintahan yang dijalankannya; (c) mengetahui penilaian
rakyat atas kepemimpinannya; (d) memahami dan merasakan langsung kesusahan dan
kesenangan rakyatnya; dan (e) mengetahui tingkat kesejahteraan rakyatnya di
setiap penjuru (Pardi Suratno, 2006:94).
Angin juga tidak
pernah berhenti dan tidak pilih kasih memberikan zatnya sebagai nafas kehidupan
bagi seluruh makhluk hidup. Maknanya kehadiran seorang pemimpin harus bisa
menghidupi atau mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
Gaya kepemimpinan
sebagaimana terkandung dalam Asthabrata dapat diterapkan dalam majemen apapun,
dari sejak zaman dahulu (kerajaan/kesultanan) di Nusantara ini sampai dengan
gaya kepemimpinan dalam mengelola organisasi apapun baik pemerintah (public
institution) maupun swasta (privat company) yang bersifat mencari
laba ataupun yang bermotif sosial, bahkan di dalam kehidupan rumah tangga
sekalipun.
Dalam mencapai visi
dan misi perusahaan secara manajerial mutlak perlu adanya pola kepemimpinan (leadership
role model) yang komprehensif dengan kebutuhan organisasi. Dari banyak
model kepemimpinan yang ada, Asthabrata dapat juga dipakai sebagai salah satu
model kepemimpinan alternatif.