Kamis, 23 April 2015

Autobiografi Ki Tristuti Rahmadi Suryo Saputro


Latar Belakang Kehidupan Kesenimanan Tristuti Rahmadi Suryo Saputro
Oleh : Indriyanto, S.Sn.

            Tristuti Rahmadi Suryo Saputro lahir di desa Sugih Manik, Purwodadi, Grobogan pada tanggal 3 Januari 1939. Ia merupakan keturunan Soerjatman Jasa Soetarsa, seorang dalang dari Jombor, Klaten dengan Mintarsih. Namun disaat baru berumur 10 bulan, Tristuti kecil sudah kehilangan seorang figur ayah, karena sang ayah sudah menghadap ke pangkuan Illahi. Semenjak itu dia di asuh ibunya bersama seorang kakaknya yang bernama Slamet Surja Atmadja yang tinggal di Semarang. Walaupun hidup dalam lingkungan keluarga dalang, namun keluarga Tristuti berpikiran modern dan konserfatif. Sehingga Tristuti disekolahkan sampai jenjang yang tinggi menurut ukuran waktu itu. Dia lulusan B-1 Ilmu Pasti di Semarang pada tahun 1959, dan setelah lulus dia mengajar di salah satu SMA di Grobogan, Purwodadi namun hanya bertahan kurang lebih 1 tahun (wawancara 11 Agustus 2003). Kemajuan pendidikan Tristuti tidak terlepas dari dorongan ibu tirinya, Wilhelmine Vrederick Wenskhenk seorang keturunan Belanda ( Purbo Asmoro, 2004:22).
            Tristuti menikah pertama kali pada tahun 1961 dengan mantan siswanya waktu mengajar di SMA Purwodadi yang bernama Nasrini. Dari perkawinan tersebut dikaruniai tiga orang putri, Candra Tristanti, Yuli Tristanti, dan Riri Trisparanti. Namun saat menjalani hukuman sebagai tahanan politik rezim Orde Baru, mereka harus berpisah karena istri dan anak-anaknya direbut orang dan diajak pergi ke Sydney, Australia. Pada tahun 1980 Tristuti menikah untuk kedua kalinya dengan Mulyati dan dikaruniai seorang anak bernama Kinanthi Firman Sih. Pada pertengahan tahun 2000 Mulyati meninggal dunia, kemudian Tristuti menikah lagi dengan Denok pada tahun 2001 (Purbo Asmoro, 2004:23).
            Kepandaiannya dalam memainkan wayang awalnya diperolehnya lewat kakak ki. Slamet Surja Atmadja dan ibunya. Tristuti tidak pernah belajar pedalangan secara formal ke sekolah-sekolah pedalangan semacam PDMN (Pasinaon Dalang Mangkunegaran) atau PADASUKA (Pasinaon Dalang Surakarta) Untuk lebih mempertajam talentanya didunia pedalangan, Tristuti lebih senang berguru pada dalang-dalang di Klaten yang dianggap mampu dan memiliki keahlian khusus. Tristuti pernah nyantrik pada Hardja Martana, seorang pamannya yang tinggal di Kuwiran, Gondang, Klaten. Pernah juga nyantrik pada Wira dalang di Soran, kemudian di Teras. Mengenai hal ini Tristuti mengakui sebagai berikut:
            “ Dulu saya pripat lesnya itu ke Klaten, ke Kuwiran pada bapa paman saya Hardja Martana. Ke Soran, Soran itu yang sekarang di tempati Pak Kesdik, itu Pak Soran. Pak Teras….., pak Teras itu mbahne mas Manteb. Guru-guru saya dulu itu ya itu. Soran aslinipun Wira, ya terkenalnya itu mbah Soran. Mbah Teras itu ya mbah Teras. Kan jaman dulu kalau menyebut dalang itu tempat tinggalnya”.(Tristuti, wawancara 11 Agustus 2003).
           
            Seperti layaknya sistem nyantrik pada waktu itu, Tristuti juga mbatih atau ikut membantu pekerjaan rumah si empunya rumah. Kadang kala juga ikut merawat peralatan pentas, baik merawat wayang atau gamelan. Ia tidak sungkan untuk memotong batang pisang untuk pentas, menggelar tikar, memanggul gamelan dan menata wayang. Tristuti berusaha menyatu dan menghayati wayang dengan cara mendengar, melihat, memperhatikan, dan mempraktekkan apa yang dilakukan gurunya. Setelah umur 15 tahun Tristuti mulai bisa mendalang secara mandiri (Wawancara, 11 Agustus 2003).
            Baru pada saat menjadi pengajar di salah satu SMA di Grobogan itulah Tristuti mulai menekuni untuk mengadakan pentas pedalangan. Pada mulanya hanya pada saat sekolah tempatnya mengajar mengadakan perpisahan kelas 3, Tristuti diminta untuk pentas pakeliran. Berawal dari situlah akhirnya dia dikenal masyarakat luas dan mulai diminta untuk pentas pada saat murid-muridnya atau orang tua wali murid punya hajatan. Pada awalnya, sekali dua kali Tristuti tidak mau menerima upah dari murid atau orang tua wali murid yang punya hajatan karena dia beranggapan hanya sekedar membantu. Di lain waktu Tristuti dikirimi sembako ke asramanya sebagai ucapan terimakasih. Tristuti mulai mau menerima upah dalam mendalang saat ada famili dari kenalannya atau orang lain punya hajatan dan saat itu nilainya sebesar Rp. 500,- kemudian meningkat menjadi Rp. 750,- lalu Rp. 1.000,-. Padahal gaji yang diterimanya sebagai seorang guru pada waktu itu hanya Rp. 200,-. Setelah waktunya lebih banyak tersita untuk melayani pentas padalangan, Tristuti sekitar tahun 60-an memutuskan untuk keluar dari SMA tempat ia mengajar. Tristuti lebih memfokuskan dirinya untuk menggeluti dunia pedalangan secara profesional dan namanya pun semakin terkenal sehingga frekuensi pentasnya pun semakin padat. Daerah-daerah yang sering menjadi tempat pentas antara lain daerah pantai utara, Pati, Demak, Kudus, Rembang, Cepu, Randu Blatung, Weleri, Pekalongan, Solo, bahkan hingga Bojonegoro dan Lumajang. Upah untuk mendalang pun mengalami kenaikan mulai dari Rp. 2000,-,Rp.3000,- lalu Rp. 10.000,- hingga mencapai Rp.25.000,- yang pada saat itu nilai nominalnya termasuk tinggi dan mahal.( Tristuti, wawancara 11 Agustus 2003).
 Pada tahun 1963 Tristuti ditanggap di Galangan Kapal Ancol, Jakarta dengan imbalan Rp. 100.000,- sebuah imbalan yang sangat mahal dan tidak pernah diterima para dalang lain pada saat itu. Pada tahun 1963 Tristuti untuk pertama kalinya pergelaran wayangnya dikarciskan untuk umum. Kemudian pada tahun 1964 Tristuti bersama beberapa rekan-rekannya yang tergabung dalam Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA), sebuah organisasi milik Partai Komunis Indonesia (PKI) mengadakan eksperimen pedalangan di Semarang berupa pakeliran layar panjang dengan menampilkan tiga dalang (Purbo Asmoro, 2004:24-25).
            Selama menjadi seorang dalang, yang paling membahagiakan dan paling terkesan dalam hidupnya adalah pada tahun 1964 saat dia di minta untuk pentas mendalang di istana negara oleh Ir. Soekarno, Presiden RI waktu itu. Sehabis pentas, Tristuti diajak makan bersama oleh Ir. Soekarno dan dia diberi tambahan nama Suryo Saputro di belakang nama aslinya Tristuti Rahmadi (Tristuti, wawancara 11 Agustus 2003). Nama itu sampai sekarang tetap dipakainya karena ia anggap sebagai kenang-kenangan yang tidak pernah terlupakan.
            Pada saat konflik politik waktu itu sedang mengalami puncaknya dengan ditandai meletusnya peristiwa yang dikenal dengan gerakan G30 S/PKI turut berimbas pula terhadap perjalanan hidup Tristuti Rahmadi Suryo Saputro. Ia di tuding ikut terlibat gerakan yang di anggap terlarang oleh rezim Orde Baru tersebut. Sehingga Tristuti dianggap bersalah dan ditangkap oleh penguasa Orde Baru, kemudian dipenjara dengan cara berpindah-pindah dan pernah dibuang ke pulau Buru. Selama kurang lebih 14 tahun Tristuti menjalani hidupnya sebagai seorang tahanan dan buangan. Di dalam pembuangan inilah Tristuti banyak menimba ilmu dan mendapatkan pengalaman hidup yang kemudian ia curahkan lewat karya-karyanya dalam dunia pedalangan. Setelah bebas dari menjalani hukuman pada akhir tahun 1979, Tristuti berusaha menekuni kembali dunia pedalangan, namun setiap gerak-geriknya selalu diawasi oleh penguasa rezim Orde Baru, Tristuti dilarang untuk mengadakan pegelaran atau pentas mendalang (Tristuti, wawancara 11 Agustus 2003). Untuk menyangga hidup setelah bebas dari penjara, Tristuti pernah bekerja sebagai kuli bangunan pada sebuah proyek di Jetis, Yogyakarta. Baru pada tahun 1980 oleh Anom Suroto, Tristuti diminta untuk pentas dalam acara wetonan di rumahnya serta mengikuti pentas Anom Suroto sebagai penyimping atau pembuat naskah (Purbo Asmara, 2004:31) Berawal dari sinilah dan keterpasungannya oleh rezim Orde Baru, kemudian mendorongnya untuk berkarya dibalik layar lewat karya-karya sastra maupun ide-ide dan pemikirannya yang banyak digunakan oleh dalang-dalang popular saat ini, semisal Anom Suroto, Manteb Soedarsono, Purbo Asmoro dan masih banyak lagi.
Dalam setiap naskah lakon atau karya-karya sastranya baik berupa janturan, pocapan, antawacana, Tristuti mengungkapkan pengalaman batinnya dan hidupnya semasa menjalani hukuman dengan sangat prima  sehingga dramatisasi yang ditampilkan lewat garap lakon maupun garapan wacana pakelirannya mampu menyentuh rasa hayatan penonton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar