Latar Belakang Kehidupan Kesenimanan Tristuti Rahmadi Suryo Saputro
Oleh : Indriyanto, S.Sn.
Oleh : Indriyanto, S.Sn.
Tristuti Rahmadi
Suryo Saputro lahir di desa Sugih Manik, Purwodadi, Grobogan pada tanggal 3
Januari 1939. Ia merupakan keturunan Soerjatman Jasa Soetarsa, seorang dalang
dari Jombor, Klaten dengan Mintarsih. Namun disaat baru berumur 10 bulan,
Tristuti kecil sudah kehilangan seorang figur ayah, karena sang ayah sudah
menghadap ke pangkuan Illahi. Semenjak itu dia di asuh ibunya bersama seorang
kakaknya yang bernama Slamet Surja Atmadja yang tinggal di Semarang. Walaupun
hidup dalam lingkungan keluarga dalang, namun keluarga Tristuti berpikiran
modern dan konserfatif. Sehingga Tristuti disekolahkan sampai jenjang yang
tinggi menurut ukuran waktu itu. Dia lulusan B-1 Ilmu Pasti di Semarang pada
tahun 1959, dan setelah lulus dia mengajar di salah satu SMA di Grobogan,
Purwodadi namun hanya bertahan kurang lebih 1 tahun (wawancara 11 Agustus
2003). Kemajuan pendidikan Tristuti tidak terlepas dari dorongan ibu tirinya,
Wilhelmine Vrederick Wenskhenk seorang keturunan Belanda ( Purbo Asmoro,
2004:22).
Tristuti menikah
pertama kali pada tahun 1961 dengan mantan siswanya waktu mengajar di SMA
Purwodadi yang bernama Nasrini. Dari perkawinan tersebut dikaruniai tiga orang
putri, Candra Tristanti, Yuli Tristanti, dan Riri Trisparanti. Namun saat
menjalani hukuman sebagai tahanan politik rezim Orde Baru, mereka harus
berpisah karena istri dan anak-anaknya direbut orang dan diajak pergi ke
Sydney, Australia. Pada tahun 1980 Tristuti menikah untuk kedua kalinya dengan
Mulyati dan dikaruniai seorang anak bernama Kinanthi Firman Sih. Pada
pertengahan tahun 2000 Mulyati meninggal dunia, kemudian Tristuti menikah lagi
dengan Denok pada tahun 2001 (Purbo Asmoro, 2004:23).
Kepandaiannya dalam
memainkan wayang awalnya diperolehnya lewat kakak ki. Slamet Surja Atmadja dan
ibunya. Tristuti tidak pernah belajar pedalangan secara formal ke
sekolah-sekolah pedalangan semacam PDMN (Pasinaon Dalang Mangkunegaran) atau
PADASUKA (Pasinaon Dalang Surakarta) Untuk lebih mempertajam talentanya didunia
pedalangan, Tristuti lebih senang berguru pada dalang-dalang di Klaten yang
dianggap mampu dan memiliki keahlian khusus. Tristuti pernah nyantrik
pada Hardja Martana, seorang pamannya yang tinggal di Kuwiran, Gondang, Klaten.
Pernah juga nyantrik pada Wira dalang di Soran, kemudian di Teras.
Mengenai hal ini Tristuti mengakui sebagai berikut:
“
Dulu saya pripat lesnya itu ke Klaten, ke Kuwiran pada bapa paman saya
Hardja Martana. Ke Soran, Soran itu yang sekarang di tempati Pak Kesdik, itu
Pak Soran. Pak Teras….., pak Teras itu mbahne mas Manteb. Guru-guru saya
dulu itu ya itu. Soran aslinipun Wira, ya terkenalnya itu mbah
Soran. Mbah Teras itu ya mbah Teras. Kan jaman dulu kalau
menyebut dalang itu tempat tinggalnya”.(Tristuti, wawancara 11 Agustus 2003).
Seperti layaknya
sistem nyantrik pada waktu itu, Tristuti juga mbatih atau ikut
membantu pekerjaan rumah si empunya rumah. Kadang kala juga ikut merawat
peralatan pentas, baik merawat wayang atau gamelan. Ia tidak sungkan untuk
memotong batang pisang untuk pentas, menggelar tikar, memanggul gamelan dan
menata wayang. Tristuti berusaha menyatu dan menghayati wayang dengan cara
mendengar, melihat, memperhatikan, dan mempraktekkan apa yang dilakukan
gurunya. Setelah umur 15 tahun Tristuti mulai bisa mendalang secara mandiri
(Wawancara, 11 Agustus 2003).
Baru pada saat
menjadi pengajar di salah satu SMA di Grobogan itulah Tristuti mulai menekuni
untuk mengadakan pentas pedalangan. Pada mulanya hanya pada saat sekolah
tempatnya mengajar mengadakan perpisahan kelas 3, Tristuti diminta untuk pentas
pakeliran. Berawal dari situlah akhirnya dia dikenal masyarakat luas dan mulai
diminta untuk pentas pada saat murid-muridnya atau orang tua wali murid punya
hajatan. Pada awalnya, sekali dua kali Tristuti tidak mau menerima upah dari
murid atau orang tua wali murid yang punya hajatan karena dia beranggapan hanya
sekedar membantu. Di lain waktu Tristuti dikirimi sembako ke asramanya sebagai
ucapan terimakasih. Tristuti mulai mau menerima upah dalam mendalang saat ada
famili dari kenalannya atau orang lain punya hajatan dan saat itu nilainya sebesar
Rp. 500,- kemudian meningkat menjadi Rp. 750,- lalu Rp. 1.000,-. Padahal gaji
yang diterimanya sebagai seorang guru pada waktu itu hanya Rp. 200,-. Setelah
waktunya lebih banyak tersita untuk melayani pentas padalangan, Tristuti
sekitar tahun 60-an memutuskan untuk keluar dari SMA tempat ia mengajar.
Tristuti lebih memfokuskan dirinya untuk menggeluti dunia pedalangan secara
profesional dan namanya pun semakin terkenal sehingga frekuensi pentasnya pun
semakin padat. Daerah-daerah yang sering menjadi tempat pentas antara lain
daerah pantai utara, Pati, Demak, Kudus, Rembang, Cepu, Randu Blatung, Weleri,
Pekalongan, Solo, bahkan hingga Bojonegoro dan Lumajang. Upah untuk mendalang
pun mengalami kenaikan mulai dari Rp. 2000,-,Rp.3000,- lalu Rp. 10.000,- hingga
mencapai Rp.25.000,- yang pada saat itu nilai nominalnya termasuk tinggi dan
mahal.( Tristuti, wawancara 11 Agustus 2003).
Pada tahun 1963
Tristuti ditanggap di Galangan Kapal Ancol, Jakarta dengan imbalan Rp.
100.000,- sebuah imbalan yang sangat mahal dan tidak pernah diterima para
dalang lain pada saat itu. Pada tahun 1963 Tristuti untuk pertama kalinya
pergelaran wayangnya dikarciskan untuk umum. Kemudian pada tahun 1964 Tristuti
bersama beberapa rekan-rekannya yang tergabung dalam Lembaga Kesenian Rakyat
(LEKRA), sebuah organisasi milik Partai Komunis Indonesia (PKI) mengadakan
eksperimen pedalangan di Semarang berupa pakeliran layar panjang dengan
menampilkan tiga dalang (Purbo Asmoro, 2004:24-25).
Selama menjadi
seorang dalang, yang paling membahagiakan dan paling terkesan dalam hidupnya adalah
pada tahun 1964 saat dia di minta untuk pentas mendalang di istana negara oleh
Ir. Soekarno, Presiden RI waktu itu. Sehabis pentas, Tristuti diajak makan
bersama oleh Ir. Soekarno dan dia diberi tambahan nama Suryo Saputro di
belakang nama aslinya Tristuti Rahmadi (Tristuti, wawancara 11 Agustus 2003).
Nama itu sampai sekarang tetap dipakainya karena ia anggap sebagai
kenang-kenangan yang tidak pernah terlupakan.
Pada saat konflik
politik waktu itu sedang mengalami puncaknya dengan ditandai meletusnya
peristiwa yang dikenal dengan gerakan G30 S/PKI turut berimbas pula terhadap
perjalanan hidup Tristuti Rahmadi Suryo Saputro. Ia di tuding ikut terlibat
gerakan yang di anggap terlarang oleh rezim Orde Baru tersebut. Sehingga
Tristuti dianggap bersalah dan ditangkap oleh penguasa Orde Baru, kemudian
dipenjara dengan cara berpindah-pindah dan pernah dibuang ke pulau Buru. Selama
kurang lebih 14 tahun Tristuti menjalani hidupnya sebagai seorang tahanan dan
buangan. Di dalam pembuangan inilah Tristuti banyak menimba ilmu dan mendapatkan
pengalaman hidup yang kemudian ia curahkan lewat karya-karyanya dalam dunia
pedalangan. Setelah bebas dari menjalani hukuman pada akhir tahun 1979,
Tristuti berusaha menekuni kembali dunia pedalangan, namun setiap
gerak-geriknya selalu diawasi oleh penguasa rezim Orde Baru, Tristuti dilarang
untuk mengadakan pegelaran atau pentas mendalang (Tristuti, wawancara 11
Agustus 2003). Untuk menyangga hidup setelah bebas dari penjara, Tristuti
pernah bekerja sebagai kuli bangunan pada sebuah proyek di Jetis, Yogyakarta. Baru
pada tahun 1980 oleh Anom Suroto, Tristuti diminta untuk pentas dalam acara wetonan
di rumahnya serta mengikuti pentas Anom Suroto sebagai penyimping atau
pembuat naskah (Purbo Asmara, 2004:31) Berawal dari sinilah dan keterpasungannya
oleh rezim Orde Baru, kemudian mendorongnya untuk berkarya dibalik layar lewat karya-karya
sastra maupun ide-ide dan pemikirannya yang banyak digunakan oleh dalang-dalang
popular saat ini, semisal Anom Suroto, Manteb Soedarsono, Purbo Asmoro dan
masih banyak lagi.
Dalam setiap naskah lakon atau karya-karya sastranya baik
berupa janturan, pocapan, antawacana, Tristuti
mengungkapkan pengalaman batinnya dan hidupnya semasa menjalani hukuman dengan
sangat prima sehingga dramatisasi yang
ditampilkan lewat garap lakon maupun garapan wacana pakelirannya
mampu menyentuh rasa hayatan penonton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar