Nartasabda lahir
pada tanggal 25 agustus 1925 di Krangkungan, Pandes, kecamatan Wedi, dan masih
termasuk kedalam distrik kabupaten Klaten. Nartasabda lahir dengan nama
Soenarta, ia anak bungsu dari pasangan Parta Tinaya dengan Kencur dan mempunyai
tujuh orang saudara. Sejak berusia tiga tahun, Soenarta sudah menunjukkan rasa
ketertarikannya pada bidang seni. Bersama kakanya yang bernama Mardanus, ia
selalu mengikuti ayahnya bila klenengan atau mengiringi pentas pakeliran
Ki Kandha Disana dari Pedan maupun Ki Ganda Warsana dari Ceper (salah satu
kecamatan di Kabupaten Klaten). Hal tersebut berlangsung terus sampai ia dapat
memainkan semua ricikan gamelan, yakni sekitar tahun 1936. saat itu
Soenarta sudah menguasai permainan rebab, gender, dan kendang
tanpa ada yang mengajarinya (Sumanto, 2002:17-18). Memang dalam kalangan
seniman tradisional terutama dalang, pada saat itu para anak-anak dalang tidak
diberi pelajaran kesenian secara khusus. Mereka mempelajarinya secara otodidak
dengan cara hanya mengikuti pentas orang tuannya atau orang lain yang dianggap
sebagai guru, sehingga anak tersebut belajar secara tidak langsung.
Pada tahun 1933,
Soenarta masuk sekolah Standard School Muhammadiyah di Jogonalan Klaten. Tiap
sore ia bersama kakak perempuannya yang bernama Soemarsih belajar menari di
Irobangsan, Wedi di bawah asuhan Raden Mas Suradji dari Surakarta. Karena
keterbatasan orang tuanya dalam hal biaya, terpaksa ia putus sekolah saat duduk
di kelas dua. Sementara bakat seni Soenarta makin berkembang setelah Romo
Hardja Suwonda memasukkannya ke Sekolah Katolik. Di sana Soenarta mulai belajar
melukis, menyanyi, memainkan gitar dan biola. Pada tahun 1936 Soenarta ikut
rombongan Wayang Orang Sri Cahya Mulya selama dua bulan. Kemudian ia mengikuti Ki
Pudja Sumarta seorang dalang dari Kuwasa, Klaten sebagai seorang pemain kendang.
Selama mengikuti ki Pudja Sumarta inilah perhatian Soenarta terhadap pedalangan
sudah mulai nampak. Setiap pulang dari pentas ia berusaha menirukan sulukan,
narasi dan dialog tanpa memperdulikan caci maki serta hinaan dari
rekan-rekannya (Sumanto, 2002:19-20)
Sebelum menekuni
dunia pedalangan, ternyata Soenarta telah mengikuti beberapa rombongan kesenian
ketoprak maupun wayang orang. Rombongan kesenian yang pernah diikuti antara
lain; ketoprak Budi Langen Wanodya, ketoprak Sri Widodo, ketoprak Sri Wandawa.
Baru pada awal bulan November 1945, Soenarta ikut rombongan wayang orang
Ngesthi Pandawa pimpinan Sastra Sabda. Berkat kemampuannya dalam karawitan,
pada sekitar tahun 1950-an ia dipercaya sebagai pemain kendang sekaligus
memimpin karawitan. Lebih dari itu, ia bahkan diangkat menjadi suadara muda
Sastra Sabda dan diberikan tambahan nama Nartasabda. Selain sebagai pemain kendang,
Nartasabda kadang-kadang berperan sebagai dalang wayang orang menggantikan
peran Kasido apabila yang bersangkutan berhalangan hadir. Gaya penyuaraan
narasinya meniru gaya Kasido, sulukan meniru Ki Pudjasumarta sedangkan keprakan-nya menggunakan teknik yang dipakai dalam wayang
kulit. Melihat penampilan Nartasabda sebagai dalang wayang orang mengesankan
hati Sastra Sabda yang kemudian mendorong Nartasabda untuk lebih mendalami pedalangan
wayang kulit. Pada mulanya Nartasabda membaca berbagai buku pedoman pedalangan
(Jawa = pakem), kemudian atas bimbingan Gita Tjarita seorang dalang dari
Surakarta yang tinggal di Semarang, Nartasabda mulai belajar menggerakkan
wayang dan untuk lebih mendalaminya ditempuh dengan melihat pertunjukkan wayang
(Sumanto, 2002:30-31)
Gaya pedalangan
yang dipakai Nartasabda pada awal kemunculannya berkiblat pada pakeliran gaya
Surakarta dengan meniru gaya Ki Pudja Sumarta. Nartasabda beranggapan Ki Pudja
Sumarta lah gurunya, meskipun ia sama sekali belum pernah diberikan pelajaran
pedalangan secara langsung oleh ki Pudja Sumarta. Kiranya wajar bila pada awal
penampilannya sebagai dalang berkiblat pada gaya Ki Pudja Sumarta, karena
antara tahun 1936 sampai sekitar tahun 1939 Nartasabda menjadi pemain kendangnya
(Sumanto, 2002:48). Nartasabda juga berguru pada Wignya Soetarna seorang dalang
dari Pura Mangkunegaran. Tokoh ini terkenal mempunyai kelebihan dalam hal dramatisasi
catur maupun sanggit dan mempunyai ciri khusus dalam bentuk bantahan.
Pada gilirannya gaya tersebut banyak ditiru oleh Nartasabda (Sumari, 1996:100).
Hal tersebut sangat lumrah terjadi di lingkungan para dalang karena
menjadi suatu kebiasaan bahwa gaya pedalangan dalang-dalang terkenal (senior)
sangat mempengaruhi gaya pedalangan dalang-dalang muda (yunior). Dalang-dalang
muda sengaja mencontoh, karena menurut pandangan mereka gaya-gaya pedalangan
dalang-dalang tenar pantas dijadikan pathokan (Jawa = ugeran).
Selain itu juga dapat menjadi kunci keberhasilan pedalangan (Clara Van
Groenandael, 1987:118).
Seiring dengan
perjalanan waktu, Nartasabda mulai tidak ketat mengikuti gaya pedalangan gaya
Surakarta. Ia mulai berani melakukan perubahan-perubahan dalam penggarapan
unsur-unsur pedalangan, baik itu sulukan, adegan, iringan yang
digunakan dan masih banyak lagi. Perubahan yang dilakukan Nartasabda pada
awalnya mendapat tentangan dari kalangan seniman tradisi terutama para dalang-dalang karena dipandang
telah menyimpang dari aturan-aturan yang sudah diakui secara konvensional (pakem
yang sudah ada). Namun hal itu tidak menyurutkan semangatnya dalam berkarya dan
justru lewat perubahan yang dilakukannya ternyata mampu meraih simpati penonton
yang pada akhirnya mampu mengangkat Nartasabda sebagai dalang termasyur dan
termahal pada jamannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar