Kemunculan Lakon Wahyu
Makutharama
Oleh: Indriyanto, S.Sn.
Oleh: Indriyanto, S.Sn.
Lakon Wahyu
Makutharama sampai sekarang belum bisa dipastikan sejak kapan dan siapa yang
pertama kali membuatnya karena tidak adanya sumber tertulis yang dapat dipakai
sebagai dasar yang kuat mengenai hal tersebut. Namun diperkirakan lakon
ini pada awal kemunculannya diilhami dari ajaran Hasthabrata yaitu suatu ajaran
moralitas tentang jiwa-jiwa kepemimpinan yang pernah dipakai oleh Prabu Rama
dalam epos Ramayana. Berkat daya kreativitas para seniman di Indonesia
(khususnya para seniman di Jawa) epos Ramayana yang konon ditulis oleh Walmiki
dan masuk ke Indonesia pada sekitar abad ke-9 serta epos Mahabharata yang konon
ditulis oleh Vyasa (Kresna Dwipayana) dan dikenal orang Jawa pada abad XI yang
pada mulanya merupakan dua siklus cerita yang terpisah, namun oleh para seniman
di Indonesia kedua epos tadi dipertemukan sehingga menjadi suatu cerita yang
yang saling berkesinambungan. Meskipun tetap diakui masih adanya pembabakan
dalam siklus cerita. Berkenaan dengan
dengan hal tersebut Hazim Amir dalam salah satu tulisannya berpendapat bahwa
dari fenomena tersebut berlaku prinsip sinkretisme dan mozaikisme. Bahwa setiap
kebudayaan baru datang, datang pula cerita-cerita baru, sedang cerita-cerita
lama tidak dibuang hanya ditambahkan atau diadakan penyesuaian-penyesuaian
(1997 : 39). Menurut Ahimsa Putra yang pendapatnya dikutip oleh Dhanu Priyo
Prabowo mengatakan bahwa Sinkretisme adalah upaya untuk mengolah, menyatukan,
mengombinasikan, dan menyelaraskan dua atau lebih sistem prinsip yang berlainan
atau berlawanan sedemikian rupa sehingga terbentuk suatu sistem prinsip baru,
yang berbeda dengan sistem-sistem prinsip sebelumnya ( Dhanu Priyo Prabowo,
2004:17)
Di dunia pedalangan khususnya wayang kulit
purwa seringkali kita jumpai beberapa repertoar lakon yang mengisahkan
pertemuan tokoh-tokoh epos Ramayana dengan tokoh-tokoh epos Mahabarata dalam
satu cerita misalnya lakon Rama Nitis, Rama Nitik, Semar Boyong, Wahyu
Purba Sejati, termasuk juga lakon Wahyu Makutharama. Jika dikaji lebih
jauh memang agak janggal sehingga timbul cerita-cerita yang aneh, lucu, dan
jauh menyimpang dari aslinya (Sri Mulyono, 1982 : 179).
Sedangkan Hazim Amir dalam Nilai-nilai
Etis Dalam Wayang mengemukakan:
Hal yang paling aneh dalam
cerita-cerita kreasi baru para dalang ialah adanya anakhonisme yang terjadi
karena adanya cerita baru yang menyatukan Ramayana dan Mahabarata. Dalam lakon
“Rama Nitis”, misalnya tokoh-tokoh Ramayana hidup dalam satu jaman dengan tokoh-tokoh
Mahabarata dan banyak cerita yang lain, Anoman yang tak pernah mati terdapat
dalam lakon-lakon sempalan dari Mahabarata. (1997 : 45)
Menurut Singgih Wibisono, seorang ahli
linguistik dan pemerhati dunia pedalangan dalam Jagad Pedalangan dan
Pewayangan CEMPALA edisi Maret 1997 menyebutkan bahwa lakon Wahyu
Makutharama merupakan khas hasil ciptaan kebudayaan Indonesia khususnya di
bidang pewayangan, meskipun cerita wayang bersumber dari kitab Ramayana dan
Mahabarata dari kebudayaan Hindu namun di Jawa cerita ini mengalami pengolahan
dan perombakan sesuai dengan sistem nilai budaya yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat Indonesia (1997 : 46). Dengan demikian telah terjadi penetralisasian
wayang dari ekspresi langsung jagad Hinduisme sehingga wayang menjadi media
netral yang dapat digunakan memediasi antar apa saja.
Menurut beberapa nara sumber yang penulis
temui, rata-rata dari mereka tidak mengetahui secara pasti kapan lakon
Wahyu Makutharama pertama kali muncul. Seperti pernyataan Naryacarita berikut
ini:
“Aku durung lahir Makutharama
ki wis populér, kerep-kerepé dilakokké Makutharama kok. Dadi aku ora isoh
ngarani laire lakon Makutharama tahun piro ora ngerti wong aku durung lair ki
wis ana lakon Makutharama kok” (wawancara 30 Agustus 2003)
Terjemahan:
Saya belum lahir Makutharama sudah
terkenal, Makutharama sering dipentaskan, jadi saya tidak bisa memastikan lakon
makutharama lahir tahun berapa, saya tidak tahu karena saya belum lahir
lakon Makutharama sudah ada.
Tristuti Rahmadi Suryo Saputro memperkirakan
lakon Wahyu Makutharama lahir pada jaman feodal (kerajaan) dengan maksud
untuk melegitimasi kekuasaan raja pada masa itu bahwa seorang raja bukanlah
sembarang orang, hanya orang-orang “pilihan Tuhan” saja yang berhak menjadi
raja karena seorang raja dianggap sebagai utusan Tuhan di dunia (wawancara 3
Desember 2003). Berkenaan dengan kemunculan lakon Wahyu Makutharama pada
jaman feodal, ada suatu pernyataan yang menarik dari hasil wawancara Bambang
Murtiyoso dan kawan-kawan dengan R. Soetrisno yang dilakukan pada tanggal 18
Januari 1984 yang menyatakan:
“Makutharama menika terjemahan
saking Tajusalatin, mahkota segala raja-raja, menika ingkang nggarap
Purbaningrat jaman PB kaping IX. Menika sanés anu,…..sanés karangan menika.
Dados menika saduran,….dados Tajusalatin menika “Tajus” menika mahkota,
tegesipun “salatin” menika raja-raja, mahkota segala raja-raja. Naming
wucalkipun wonten Makutharama dipun pendhetaken wucalan ASTABRATA. Lampahan
menika wujudipun lampahan sinkritisme tegesipun lampahan campuran Mahabarata
kaliyan Ramayana.
Terjemahan
:
Makutharama
adalah terjemahan dari Tajusalatin, mahkota segala raja-raja. Itu yang membuat
Purbaningrat jaman PB IX itu bukan karangan, jadi itu saduran. Dengan demikian
Tajusalatin, “Tajus” itu mahkota, arti “salatin” adalah raja-raja, mahkota
segala raja-raja. Namun ajaran dalam Makutharama diambilkan ajaran HASTHABRATA.
Lakon tersebut merupakan lakon sinkretisme artinya lakon
campuran Mahabarata dan Ramayana.
Menurut
Poerbatjaraka, Serat Tajusalatin dikarang oleh Yasadipura pada tahun
1139 Hijriah dalam bentuk sekar macapat dan memang menyadur dari kitab
Mahkota Segala Raja-raja yang berbahasa Melayu (1954:149). Dengan
melihat data diatas terjadi perbedaan pendapat, sehingga sulit ditelusuri
kebenaran tentang kemunculan lakon Wahyu Makutharama secara pasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar