Pengertian Wahyu Makutharama
Oleh : Indriyanto, S.Sn.
Sebelum
berbicara lebih mendalam mengenai lakon Wahyu Makutharama, terlebih
dahulu akan dibicarakan mengenai pengertian wahyu itu sendiri. Bagi sebagian
masyarakat Jawa masih banyak yang beranggapan bahwa wahyu adalah wujud
kelimpahan rahmat dan pencerahan Tuhan kepada seseorang, sehingga orang yang
mendapatkan wahyu atau kewahyon dapat dikatakan hidupnya akan berhasil
secara lahir dan batin. Dengan demikian wahyu dimaknai sebagai tanda perubahan
seseorang mengarah kepada kebaikan, kesuksesan, dan kemasyhuran yang juga
berguna bagi kesejahteraan orang banyak. Untuk mencapai semua itu, manusia Jawa
biasanya melakukan laku batin antara lain; bertapa, berpuasa, mengurangi
tidur, berpantang, atau mengunjungi tempat-tempat yang dianggap sakral dan
masih banyak yang lainnya.
Pada khalayak ramai muncul beragam
pendapat tentang makna wahyu. Harun Nasution dalam bukunya Filsafat Agama mengartikan
wahyu sebagai suatu kebenaran yang datangnya langsung dari Tuhan kepada salah
seorang dari hamba-Nya. Dengan kata lain, wahyu terjadi karena adanya
komunikasi antara Tuhan dan manusia (1979: 21). Wahyu juga berarti kemuliaan
Illahi, keuntungan, kejayaan (Sastro Amidjojo, 1964: 112).
R.S. Subalidinata
dalam GATRA Majalah Warta Wayang no.6 th. 1985 memberikan pengertian tentang wahyu sebagai berikut:
Wahyu
adalah pulung nugrahaning Allah (kebahagiaan anugerah Tuhan), wahyu
adalah Wedharing Allah menggahing prakara gaib (keterangan Tuhan
mengenai perkara gaib). Kebanyakan orang menganggap wahyu sama dengan pulung. Ketiban
wahyu (kejatuhan wahyu) sering dikatakan ketibaban pulung. Pulung
tidak lain anugerah, keuntungan, kebahagiaan atau kemuliaan (1985: 13).
Menurut Sri Mulyono
dalam Wayang dan Filsafat Nusantara, wahyu adalah “sabda sejati”,
dengan demikian wahyu ini tidak berujud benda, tetapi berujud ajaran-ajaran,
petunjuk-petunjuk atau dalil-dalil dari Sang Hyang Wisesa Jati (1982: 54).
Wahyu merupakan suatu anugerah dari Tuhan untuk umat pilihan-Nya dan bukan
bersifat kebendaan atau keduniawian namun bersifat kerohanian (Tristuti,
wawancara 11 Agustus 2003).
Sementara Hardo
Suti, seorang dalang di daerah Wonogiri memberikan makna wahyu sebagai berikut:
“Wahyu menika setu-setunggaling
bab ingkang digayuh bisa gawé kasembadaning karep. Ingkang dipun wastani ingkang
sampun kewahyon menika tegesé wis kecekel kekarepané” (wawancara 31 Juli
2003).
Terjemahan:
Wahyu merupakan sesuatu hal yang
dicari agar bisa tercapai tujuannya. Yang dimaksud sudah kewahyon berarti sudah
tercapai cita-citanya.
Dalam dunia mitos
Jawa ada sebagian golongan mempercayai bahwa wahyu itu memang ada dan berujud.
Fenomena tersebut dapat kita lihat dalam
cerita-cerita rakyat atau dalam babad tanah Jawa yang menggambarkan
turunnya wahyu berupa seberkas cahaya terang dan kemudian jatuh lalu menyatu
dalam tubuh seseorang yang sedang melakukan tapa brata atau semedi.
Menurut Kitab Pararaton
disebutkan bahwa Ken Arok sejak bayi tubuhnya bersinar, dikatakan ia telah
memperoleh wahyu keprabon (wahyu raja). Dalam Babad Mataram diceritakan
bahwa Panembahan Senopati di waktu tidur ada benda yang bersinar sebesar kelapa
jatuh didekatnya. Ini pertanda bahwa Penembahan Senopati telah mendapat wahyu.
Raden Bagus Burhan atau yang lebih kita kenal dengan nama R. Ng. Ronggowarsito,
seorang pujangga besar dari Kraton Surakarta ketika waktu kecilnya sedang tapa
kungkum (bertapa dengan cara berendam dalam air) ada seberkas sinar menghampirinya,
dikatakan ia mendapat wahyu (Subalidinata 1985:13).
Menurut Toto
Atmodjo, di kalangan orang tua dahulu mempercayai jika ada seberkas cahaya
berwarna biru yang turun dari langit ada waktu malam disebut wahyu (wawancara
31 Juli 2003). R.M. Sajid dalam bukunya Bauwarna Kawruh Wajang, jilid 2
menerangkan bahwa wahyu berwarna putih kehijauan yang merupakan campuran dari
mutiara, emas dan perak.
Masih berkaitan
dengan kepercayaan tentang wujud wahyu, Naryacarita dalang senior dari
Kartasura, Sukoharjo menuturkan pengalaman pribadinya sebagai berikut “aku
wis tau mlaku-mlaku ki weruh kaya bulan, gedhene padha karo bulan,
glundhung-glundhung mubeng ngéné. Dadi jenengé wahyu. Sapa lé arep ketiban”
(wawancara 30 Agustus 2003).
Terjemahan:
Saya pernah berjalan-jalan melihat
seperti bulan, besarnya seukuran bulan, berputar menggelinding seperti ini. Itu
namanya wahyu. Siapa yang akan kejatuhan (mendapatkannya).
Menurut Suwardi
Endraswara dalam Mistik Kejawen, Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam
Budaya Spiritual Jawa mengklasifikasikan wujud wahyu menjadi 3
macam, yaitu: (a) wahyu nurbuwah, yaitu wahyu keraton. Wahyu ini
akan menandakan siapa yang kuat menjadi raja. Namun hal ini juga bisa dikiaskan
sebagi bentuk kekuasaan, atau dengan kata lain siapapun yang mendapatkan wahyu
jenis ini akan mendapatkan kedudukan tertentu; (b) wahyu kukumah, yaitu
berupa cahaya berwarna kuning keemasan sebagai wahyu bagi seseorang yang akan
menjadi raja yang adil paramarta; (c) wahyu wilayah, yaitu wahyu
yang diterima oleh seorang wali. Jika menerima wahyu ini, ia berhak menyebarkan
wahyu Tuhan (2006:270-271)
Dari berbagai
cerita yang berkembang di masyarakat tadi dapat kita simpulkan bahwa wahyu
menurut anggapan umum hanya bertempat pada “orang-orang pilihan”. Berkaitan
dengan hal itu Subalidinata dalam salah satu tulisannya mengemukakan bahwa di
kalangan umum menganggap wahyu itu sesuatu yang luar biasa, tidak dimiliki oleh
sembarang orang (tokoh cerita). Wahyu hanya bertempat pada orang yang jujur,
murah hati, suci. Sebaliknya tidak mau bertempat pada orang yang sombong,
angkuh, tamak dan sebagainya (Subalidinata, 1985: 20).
Dari keanekaragaman
pendapat tentang wahyu tersebut di atas kita tidak dapat menyalahkan pendapat
si A maupun si B atau menganggap pendapat si C yang benar. Namun secara garis
besar dapat disimpulkan bahwa wahyu merupakan sebuah konsep yang mengandung
pengertian suatu karunia, anugerah, mukjizat dari Tuhan untuk kebahagiaan
umat-Nya.
Setelah sekilas mengupas
makna wahyu, selanjutnya penulis akan mencoba mengupas makna harfiah dari
Makutharama itu sendiri. Menurut Sri Mulyono dalam buku Wayang dan Filsafat
Nusantara mengartikan “makutha” sebagai suatu simbol atau status
kewibawaan kerajaan dan kekuasaan duniawi, sedangkan “rama” diartikan
sebagai Wisnu. Dengan demikian menurut Sri Mulyono, Wahyu Makutharama merupakan
ajaran kepemimpinan dari Dewa Wisnu (1982: 54-55). Pendapat yang senada
disampaikan oleh Timbul Hadi Prayitno seorang dalang senior dari Yogyakarta
yang pendapatnya dikutip oleh Mas’ud Toyib dalam Majalah Pedalangan
dan Pewayangan CEMPALA edisi Maret 1997 yang menyebutnya dengan lakon
Wahyu Sri Makutharama. Kata “sri” memperkuat pengertian ratu/raja
(pemimpin). Wahyu Sri Makutharama mengandung arti ajaran kepemimpinan (1997:
7). Tristuti Rahmadi Suryo Saputro berpendapat bahwa makutha adalah pengagemaning
narendra (pakaian raja) sedangkan Rama adalah nama seorang raja di
Pancawati. Dengan demikian Makutharama memiliki makna suatu wujud dari angger
ugering keprabon (garis-garis besar kepemimpinan) yang pernah dipakai oleh
Prabu Rama dan karena begitu mulianya ajaran tersebut sehingga derajadnya
disamakan dengan wahyu (wawancara 3 Desember 2003).
Sementara itu Naryacarita
mengartikan Makutharama sebagai berikut:
Makutharama kuwi tegesé ngéné,
makutha ki agem-agemaning Rama. Rama nalika dhèwèké dadi ratu, kuwi dadi
piwulang njut dadi ASTABRATA kaé, dadi
lé diarani Makutharama ki agem-agemané Rama nalika dadi Ratu” (wawancara 30 Agustus 2003).
Terjemahan:
Makutharama itu artinya begini, makutha
adalah pakaian (pegangan) Rama sewaktu bertahta, itu menjadi sebuah ajaran
kemudian menjadi ASTABRATA, jadi yang dimaksud Makutharama itu merupakan
pegangan (ajaran) Rama sewaktu menjadi raja.
Siswa Harsaya dalam
Serat Wahju Makutharama (Hasta Brata Kawedhar) Sinawung Sekar Matjapat pupuh
ke 16 pada Sekar Sinom menyebutkan:
18.
Wruhanta iku kerasan, pamoré
tembung tri warni; Wahju Makutha lan Rama, lungguhé sawidji-widji, wahju iku
kang dadi jekti, kanugrahaning Hyang Agung, Makutéku; busana, agemé para Narpati,
kang pinundhi dumunung anèng Makutha.
19.
rama iku karepira; Rama
Widjaja sang Adji, ija Sri Bathara Rama, Naréndra ing Pantjawati, ing Ngajodya
nagari, kang samengka sang prabu wus, murud ing kasuwargan, malaj kabaré
manitis, mring Sri Kresna naranata ing Dwaraka.
20.
Dadi surasaning kata, Wahju
Makutharamaki, jéku nugrahaning suksma, kang anggung pinundi-pundi, Rama
Widjaja Adji, nalika djumeneng ratu, puwara Prabu Rama, djumeneng Sunarapati,
kontap ing rat dadya darsananing djagad (Siswo
Harsojo, 1960).
Terjemahan
secara bebas:
18.
Ketahuilah bahwa makna dari
tiga kata; wahyu, makutha dan rama. Masing-masing mempunyai makna
sendiri-sendiri. Wahyu adalah anugerah dari Tuhan, Makutha adalah busana raja
yang dikenakan di kepala.
19.
Rama maksudnya adalah Sang
Prabu Rama Wijaya disebut juga Sri Bathara Rama seorang raja di Pancawati dari
negara Ayodya yang telah wafat dan menurut berita telah menitis kepada Sri
Kresna raja Dwaraka.
20.
Jadi makna kata wahyu
Makutharama adalah anugerah dari Tuhan yang sangat dihormati oleh Prabu Rama
Wijaya ketika bertahta dengan gelar Prabu Rama yang terkenal dan menjadi suri
tauladan di dunia.
Dari kutipan di atas jelas dikatakan bahwa
secara harfiahnya Wahyu Makutharama adalah mahkota dari Sri Rama raja di
Pancawati. Dengan beberapa analisis di atas dapat disimpulkan bahwa Wahyu
Makutharama mengandung pengertian sebuah anugerah yang berupa ilmu pengetahuan
(ajaran-ajaran) tentang watak/konsep-konsep tentang kepemimpinan yang pernah
diterapkan oleh Prabu Rama Wijaya pada jaman siklus cerita Ramayana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar